Oleh: Khotimatul Aminah
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
bidang keilmuan, karya-karya sastra yang begitu banyak dan terus bertambah saja
itu meminta pertimbangan penuh untuk dipertimbangkan (dikritik),
digolong-golongkan, dan disusun menurut perkembangan sejarahnya, dari sejak
terbitnya hingga taraf terakhir. Sedangkan hal-hal yang penting, seperti
penyusunan sejarah sastra Indonesia yang lengkap dan mendalam belum ada, juga
penyelidikan yang berupa analisis sastra, penyelidikan gaya, dan sebagainya,
yang bersangkut paut dengan bidang teori sastra belum ada, begitu pula
penyelidikan dalam kritik sastra.
Sudah
kita sadari kepentingan kritik sastra, baik dalam bidang keilmuan, masyarakat,
maupun perkembangan kesusastraan sendiri. Karya sastra sebagai karya seni perlu
mendapat pertimbangan dalam hal mutu seninya, bermutu atau tidaknya sebagai
karya seni. Kepentingan kritik sastra bagi masyarakat pada umumnya untuk
penerangan. Segi-segi yang masih gelap hingga menyukarkan pemahaman karya
sastra dapat dijelaskan oleh kritik sastra yang baik. Dengan hal demikian ini,
kemampuan pemahaman masyarakat terhadap karya sastra dapat dipertinggi hingga
dengan demikian kegunaan karya sastra dapat diambil sebanyak-banyaknya oleh
masyarakat. Seperti pendapat Horace, fungsi seni sastra ialah dulce et etile (menyenangkan
dan berguna).
Kritik
sastra sangat berguna pula bagi para sastrawan, lebih-lebih sastrawan muda yang
baru mulai memperkembang bakatnya. Mereka dapat belajar dari kritik sastra yang
baik, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan karya
sastra yang ditelitinya secara objektif. Pun seorang kritikus yang baik
kerapkali dapat menjadi pengarah kesusastraan, dengan mempertinggi selera
sastra yang baik. Disamping itu, ia dapat menunjukkan daerah-daerah atau
lapangan-lapangan baru yang belum pernah digarap sastrawan. Juga menunjukkan
penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi masyarakat kepada
sastrawan-sastrawan yang mengangkat masalah-masalah tersebut ke dalam karya
sastranya. Dengan begitu kesusastraan akan berkembang, baik dalam hal jumlah
maupun mutunya.
BAB
II
KRITIK
SASTRA
“Perkataan kritik
(critism) dalam artinya yang tajam adalah penghakiman (judgement), dan dalam
pengertian ini biasanya memberi corak pemakaian kita akan istilah itu, meskipun
bila kata itu dipergunakan dalam pengertian yang paling luas. Karena itu
kritikus sastra pertama kali dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki suatu
kepandaian khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu karya seni sastra,
atau pekerjaan penulis tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya
dan menyatakan pendapatnya temtang hal itu”.
Dalam
kritik sastra suatu karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya atau
norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu kemudian ditentukan
berdasarkan teori-teori penilaian karya sastra, bernilai atau tidak
bernilaikah, bermutu seni atau tidak bagian-bagian atau unsur-unsur karya
sastra yang diselidiki atau yang dianalisis itu. Baru sesudah itu, dengan
pertimbangan-pertimbangan seluruh penilaian terhadap bagian-bagian yang
merupakan kesatuan yang erat, dengan menimbang mana yang bernilai dan mana yang
tidak atau kurang bernilai, maka kritikus baru menentukan karya tersebut
bernilai tinggi, sedang, kurang bernilai, atau tidak bernilai sastra. Tentu
saja tak dapat dipisahkan pembicaraan kritik sastra dengan kritikus sastra.
Kritik sastra adalah hasil kerja seorang kritikus sastra.
“Kritik sastra
bersangkut paut dengan puisi, drama, novel, bahkan kritik sendiri. Bila
kesusastraan kreatif dapat didefinisikan sebagai suatu tafsir (interpretasi)
kehidupan dalam berbagai bentuk seni sastra, kritik sastra dapat didefinisikan
sebagai suatu penafsiran kepada suatu penafsiran itu dan kepada bentuk-bentuk
seni yang memberikan tafsiran kehidupan tersebut”.
Seorang
kritikus harus bersandar kepada ilmu pengetahuan seperti ilmu kemasyarakatan,
ilmu jiwa, ilmu filsafat, bahkan sampai ilmu eksakta, etika/moral, agama, dan
sebagainya. Dengan syarat-syarat tersebutlah kritiknya berwenang. Seperti juga
kata H. B Jassin. “Pertimbangan itu tentu
dengan memberikan pertimbangan alas an-alasan mengenai isi dan bentuk hasil
kesusastraan. Oleh karena isi kesusastraan adalah seluruh kehidupan, maka
perlulah seorang yang mau menjadi kritikus, mengenal lebih baik, mengalami
kehidupan sehingga tiada asing baginya dalam sifat-sifat dan jiwa manusia dan
lagi mempunyai dasar pengetahuan yang luas, supaya pertimbangannya jangan berat
sepihak”. Pada pokoknya kritik sastra mempunyai tiga kegunaan atau tugas.
Pertama, kritik sastra berguna bagi keilmuan sastra sendiri, kedua, bagi
perkembangan kesusastraan dan yang ketiga, berguna bagi masyarakat pada umumnya
yang menginginkan penerangan tentang karya sastra.
W.
h. Hudson menulis dalam bukunya, “Fungsi
yang terutama bagi kritik ialah memperjelas dan memberi dorongan. Bila seorang
penyair besar membuat kita menjadi orang yang turut mengalami (memiliki)
perasaannya yang luas tentang arti hidup, seorang kritikus mungkin menjadikan
kita orang yang turut mengambil bagian perasaanya yang luas tentang arti kesusastraan.
Seorang kritikus sering
memberikan kepada kita suatu pandangan yang sama sekali segar, baru, sering
juga memberikan bantuan istimewa dengan cara menterjemahkan ke dalam bentuk
yang terbatas, kesan-kesan kita sendiri yang kita kenal secara samar-samar,
tetapi masih begitu sukar untuk menjadi nilai yang praktis. Kadang-kadang ia
adalah seorang penunjuk jalan, yang menemukan daerah baru, kadang-kadang ia
seorang teman yang ramah, yang menunjukkan aspek-aspek yang sampai sekarang
belum tertangkap, bahkan dalam hal-hal yang paling biasa kita alami bersama.
Begitulah ia mengajar kita untuk membaca kembali bagi diri kita sendiri dengan
kepandaian yang menjadi cepat dan apresiasi yang lebih tajam”
Disebabkan
ada perbedaan orang dan perbedaan pengalaman dan kecakapan, tak mengherankan
bila ada bermacam-macam cara para kritikus dalam mengeritik karya sastra.
Berkatalah Gajus Siagian dalam prasarannya untuk symposium tahun 1956 di
Jakarta, Saya yakin bahwa kritik yang
lunak akan lebih merusak perkembangan sastra kita daripada memajukannya. Sdr.
Jassin selalu berpendirian bahwa sebagai kritikus kita tidak boleh terlalu
keras dan harus memberi kesempatan pada sastrawan-sastrawan muda. Cuma mengenai
memupuk bakat-bakat sastrawan-sastrawan muda ini saya tidak setuju dengan dia,
sepanjang saya dapat memahami caranya. Kalau saya sudah tahu bahwa saya
berhadapan dengan seorang snop, epigon, atau plagiator, saya akan berusaha
untuk mematikan hasratnya untuk menulis lagi, sekalipun semangatnya
berkobar-kobar. Sebaliknya kalau saya melihat bahwa seorang pemuda mempunyai
bakan menjadi pengarang, saya akan berusaha sedapat mungkin untuk merangsang
kemauannya dan memberikan petunjuk.
Atas
tuduhan itu H. B Jassin menjawab “Saudara
Siagian menyebut-nyebut kritik lembut, toleransi yang berlebih-lebihan, sifat
kompromistis sebagai hal yang funest bagi pengarang yang dikritik. Dengan
menghilanaagkan predikat yang berlebih-lebihan pada toleransi, saya ingin
bertanya, “apakah kritik yang sebaliknya daripada itu lebih bermanfaat?” kalau
saya bertanya beginisaya takut membuat kesalahan yang sama seperti saudara
Siagian, yaitu pemikiran yang seperti lalu lintas satu jurusan”.
Menurut
bentuknya kritik sastra digolongkan menjadi kritik teori dan kritik
praktik/terapan. Kritik sastra teori adalah bidang kritik sastra yang berusaha
(bekerja) untuk menetapkan, atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat
istilah-istilah yang tali temali, pembdaan-pembedaan dan kategori-kategori
untuk diterapkan pada pertimbangan dan interpretasi karya sastra, maupun
penerapan “kriteria” (standar atau norma-norma), yang dengan hal-hal tersebut
itu karya-karya sastra dan para sastrawannya dinilai. Kritik praktik merupakan
diskusi karya-karya sastra tertentu dan pengarang-pengarangnya. Kritik praktik
berupa penerapan teori-teori kritik yang dapat dinyatakan secara eksplisit dan
implisit berdasarkan keperluannya.
Menurut
pelaksanaannya kritik sastra oleh Abrams dibagi menjadi kritik judisial dan
kritik impressionistic. Sedangkan W. H Hudson menggolongkan kritik sastra
menjadi kritik judisial dan kritik indukatif. Kritik judisial adalah kritik
sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra
berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, dan gayanya, dan mendasarkan
pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum
tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra. Kritik induktif adalah kritik
sastra yang menguraikan bagian-bagian sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang
ada secara objektif. Kritik impressionistic adalah kritik yang berusaha
menggambarkan dengan kata-kata atas sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian
khusus atau dalam sebuah karya sastra, dan mengekspresikan tanggapan-tanggapan
(impressi) kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra
tersebut.
Berdasarkan
pendekatannya terhadap karya sastra, Abrams membagi kritik sastra ke dalam 4
tipe : kritik mimetic, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif.
Kritik mimetik adalah memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau
penggambaran dunia dan kehidupan manusia, dan kriteria utama yang dikenakan
pada karya sastra adalah kebenaran penggambaran, atau yang hendaknya
digambarkan. Kritik pragmatik adalah memandang karya sastra sebagai sesuatu
sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentuk pada audience
(pendengar, pembaca), baik berupa efek-efek kesenangan estetis ataupun
ajaran/pendidikan, maupun efek-efek yang lain. Kritik ekspresif memandang karya
sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri. kritik ini cenderung
untuk menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, dan kecocokannya
dengan visium (penglihatan batin) individual penyair atau pengarang atau
keadaan pikirannya. Kritik obyektif menganalisis karya sastra sebagai sebuah obyek
yang mencukupi dirinya sendiri atau hal yang utuh, atau sebuah dunia yang ada
dalam dirinya (otonom), yang harus ditimbang atau dianalisis dengan kriteria
intrinsik seperti kompleksitas, keseimbangan, integritas, dan saling hungan
antara unsur-unsur pembentuknya.
BAB
III
PENILAIAN
KARYA SASTRA
Ada tiga paham mengenai penilaian karya sastra yaitu
penilaian relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme
ialah penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra
sehingga karya sastra yang sudah dinilai baik pada tempat dan zamannya itu
tidak perlu dinilai lagi tapi diterima begitu saja. Penilaian absolutivisme
ialah penilaian yang menilai karya sastra berdasarkan pandangan yang sempit
seperti paham, aliran, politik dan bukan pada hakikat seni itu sendiri. Dan
penilaian perspektif ialah penilaian yang menilai karya sastra dari berbagai
sudut pandang yaitu menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbit dan
nilainya pada masa-masa yang telah dilaluinya. Metode literer (seperti kritik
induktif) yaitu penilaian karya sastra secara objektif berdasarkan hakikatnya
(bentuk dan isi), tidak dapat diukur dengan ukuran subjektif kritikus/
sastrawan sendiri. Metode analisis formal yaitu meninjau karya sastra dari segi
yang tampak oleh mata tanpa dihubungkan dengan penilaian apa yang diungkapkan
dengan bentuk itu. Metode phenomenologi yaitu menganalisis lapis-lapis norma
dalam karya sastra. Lapis norma itu mulai dari lapis terendah berupa lapis
suara/ bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia implisit hingga lapis metafisika
sebagai lapis tertinggi. Berikut penjelasannya : 1. Lapis suara/ bunyi adalah
bunyi-bunyi yang kuat yang digunakan mengekspresikan pengalaman jiwa. 2. Lapis
arti adalah kesatuan konteks, syntagma, dan pola kalimat dalam karya sastra
yang dapat memberi arti. 3. Lapis objek adalah dunia pengarang, pelaku/ tokoh
dalam karya sastra, dan tempat. 4. Lapis dunia implisit adalah dunia yang dapat
dimengerti dari gambaran objek dalam karya sastra meskipun tidak dinyatakan
(implisit). 5. Lapis metafisika adalah pandangan hidup/ filsafat dalam karya
sastra sehingga memberi kesempatan untuk memikirkan sifat mulia, tragis,
mengerikan, dan suci. Setelah karya sastra dinilai berdasarkan norma-normanya,
dapat disimpulkan karya sastra itu bernilai atau tidak. Pandangan tentang
lapis-lapis ini mengganti pandangan lama yang menyatakan bahwa karya sastra
terdiri atas bentuk dan isi. Dalam menilai karya sastra harus berdasarkan dua
kriteria yaitu bersifat seni atau estetik yaitu indah seperti pilihan kata yang
tepat, kombinasi kata/ kalimat yang menimbulkan efek puitis, penyusunan plot
yang baik, ada konflik yang hebat, humor, dan sebagainya. Dan bersifat ekstra
estetik yaitu dapat mengekspresikan nilai kehidupan yang besar dengan
memunculkan pikiran yang cemerlang, perwatakan yang kompleks, cerita yang
hebat, dan gambaran kehidupan yang menimbulkan renungan. Selain itu perlu
dilihat berhasil tidaknya sastrawan menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam
kata. Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia begitu juga pengalaman jiwa
terdiri atas lima tingkatan (niveaux) yaitu : 1. Tingkatan pertama (niveau
anorganis) yang sifatnya seperti benda mati, berupa pola bunyi irama, baris
sajak, alinea, kalimat, perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya. 2. Tingkatan
kedua (niveau vegetatif) sifatnya seperti tumbuhan, yang ditonjolkan adalah
suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian kata-kata berupa suasana menyenangkan,
menyedihkan, romantis, marah, khusuk, dan sebagainya. 3. Tingkatan ketiga
(niveau animal) sifatnya seperti binatang yaitu ada nafsu jasmaniah berupa
nafsu naluriah, nafsu makan, minum, seksual, dan sebagainya. 4. Tingkatan
keempat (niveau human) seperti manusia yaitu pengalaman yang dirasakan oleh
manusia berupa renungan batin, konflik kejiwaan, rasa belas kasihan, simpati, moral
dan sebagainya. 5. Tingkatan kelima (niveau religius/ filosofis) yaitu renungan
sampai pada hakikat tapi tidak dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari,
hanya dialami jika sholat, dzikir, doa, merenungkan dunia beserta kehidupannya,
berupa renungan batin sampai pada hakikat, hubungan manusia dengan Tuhan
seperti doa, pengalaman mistik, filsafat dan sebagainya. Karya sastra makin
banyak memancarkan tingkat keempat makin memperjelas kehalusan jiwa dan
memperbesar perasaan kemanusiaan dan peradaban.
BAB IV
ANALISIS KARYA SASTRA DAN PENERAPAN
NILAI
Puisi adalah inti peryataan sastra demikianlah menurut
sejarah dan hakekatnya.menurut sejarahnya, pernyataan sastra pada semua bangsa
dimulai dengan puisi, bahkan pada permulaan masa perkembangan itu, satu-satunya
pernyataan sastra yang dipandang kesusastraan adalah puisi.
Juga dizaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai
kemungkinan pernyataan yang lain, puis tetap menempati kedudukan yang sentral
dalam kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. saya kira keadaan ini
disebabkan oleh hakikat puisi itu sendiri. Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas
kesusastraan berpusat pada puisi.didalam puisi terhimpun dan mengental segala
unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Didalam poisi ada konsentrasi unsur
pembentuk sastra yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh prosa.”
Lapis
Arti
Cathedrale de Charteres: gereja di kota Chartres, bergaya
ghotihik. Kata ini membawa kita kepada suasana ketuhanan. Ia. Isa burung
putih-putih: burung-burung menjadi putih karena kena salju. Akan bicarakah ia
di malam sepi: apakah Isa/Kristus masih akan diingat kembali di waktu malam
yang sunyi itu. Disini Isa melambngkan kesucian, kejujuran, kebaikan, dan juga
kesetian.Puisi tak dapat dipisahkan juga dari penyairnya.Dalam sajak ini sitor
situmorang.Berdasarkan esei-eseinya, kesastraaan sitor situmorang dipergunakan
untuk membuka kekacauan.Seperti membuka kedok kekacauan batin menghadapi
kehidupan yang lebih kompleks, jalin menjalin.Ia adalah seorang kristen
eksistensialis. Sebagai seorang eksistensialis ingin mengecap hidup
sebanyak-banyaknya pada waktu kini, mempergunakan segala eksistensinya, namun
sering bertentangan dengan moral dan agama hingga menimbulkan
pertentangan-pertentangan batin, konflik-komflik kompleks.Berdasarkan analisis
ternyata dapatlah dilihat bahwa dalam sajak situmorang itu tersebar pengalaman
jiwa penyair, berupa konflik-konflik kejiwaan, kesadaran, eksistensinya,
keagamaan dan moralnya.
BAB V
TEORI KRITIK DAN PELAKSANAAN KRITIK
DALAM
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
1.
Teori Kritik dalam Kritik Sastra
Indonesia Modern
Sejak terbitnya Roman Azab dan sengsara karya Merar Siregar
pada tahun 1921.maka mulailah tradisi baru dalam sejarah kesusastraan
Indonesia, mulai tradisi baru yang coraknya berlainan dengan kesusastraan lama
(kesusastraan melayu), baik dalam persoalannya, pandangan hidup, latar belakang
maupun gayanya. Sejak roman Indonesia pertama terbitan Balai Pustaka itu, maka
tak putus-putusnya sastrawan Indonesia, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.
Juga dengan bertambahnya gaya, corak, serta persoalannya berkembang sesuai
dengan pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal itu disebabkan oleh karya
sastra itu merupakan panvaran jiwa pengarangnya.Pengarang sebagai anggota
masyarakat, maka tak dapat lepas dari persoalan-persoalan masyarakat yang
melingkunginnya.persoalan itu menyangkut bidang perekonomian, kemasyarakatan
maupun politik cita-cita dan sebagainya.
Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada
pembaca tentang budi pekerti dan niai-nilai moral hngga dengan demikian
sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya sastra sebagai
karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang langsung,
sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan nomor dua.Tero kritik sastra
taraf kedua sudahlah lebih jelas dan tegas dari taraf yang pertama, yaitu
ketika timbulnya sastrawan sastrawan yang tergolong Angkatan Pujangga Baru.Para
sastrawan sudah mengemukakan pahamnya tentang kesusastraan yang ditulisnya
dalam bentuk esay dan kritik sastra.Dalam masa Pujangga Baru itu sudah bergema
pertentangan paham tentang karya sastra yang berupa paham “seni untuk seni” dan
“seni bertendens”. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada semboyan “seni
untuk seni” tegas diwkili oleh Sanusi Pane, yang menghendaki seni yang murni,
seni untuk kepentingan seni, seni yang berdiri otonom, bahkan untuk kepentingan
seni “murninya” pada permulaanya ia mementingkan bentuk pengucapannya “seninya”
dari “isi” sastranya.
Pertentangan paham tidak hanya berhenti pada masa Pujangga Baru saja melainkan
masih berlanjut hingga kini pula.Dengan pecahnya Perang Dunia II, datanglah
perubahan yang besar.Masuknya kekuasaan Jepang ke Indonesia membawa perubahan
usunan politik kemasyarakatan, dan perekonomian, segaanya itu mempengaruhi sikap
hidup bangsa Indonesia.Tidak ketinggalan pula sastrawannya.Mereka membawa
pembaharuan daam kesusastraan Indonesia, mereka memperbarui teori penilaian
Pujangga Baru dengan karya-karya mereka yang revolusioner.Mereka ini dipelopori
oleh Chairil Anwar dalam bidang puisi dan Idrus dalam bidang prosa.Garis-garis
para sastrawan ini makin jelas sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945,
para sastrawan baru inilah yang kemudian disebut sastrawan Angkatan 45.
Pada tanggal 17 Agustus 1950 berdirilah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat
LEKRA, Dalam LEKRA ini berkumpullah karyawan karyawan seni dan budaya
diantaranya para sastrawan yang berpaham rasionalisme (komunisme). Para
sastrawan lekra menghedaki kesusastraan yang berpaham realism-sosialis.Paha
mini datang dari Negara sosialis Rusia dengan tokohnya atau bapak
realism-sosialisnya Maxim Gorky.
MANIFEST
KEBUDAYAAN
·
kami
para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini menumumkan sebuah Manifes
Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan poitik Kebudayaan Nasional
Kami.
·
bagi
kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.
Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan diatas sector kebudayaan
yang lain, setiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai
dengan kondratnya.
·
dalam
melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang
sejujur jujurnya sebagai perjoangan untuk mempertahankan dan mengembangkan
martabat diri kami sebagi bangsa Indonesia ditengah-tengah masyarakat
bangsa-bangsa.
·
PANCASILA
adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta,
17 Agustus 1963
(Majalah
SASTRA, No 9/10. Th. III 1963: 27)
Begitulah paham-paham tentang kesusastraan dalam sejarah perkembangan
kesusastraan Indonesia secara singkat, dari awal timbulnya hingga
sekarang.Paham-paham itu sedikit banyak berpengaruh kepada pelaksanaan kritik
sastra di Indonesia, bersangkut paut dengan penilaian karya sastra.
2.
Pelaksanaan
Kritik dalam Kritik Sastra Indonesia Modern
Menganaisis karya sastra harus sampai kepada penilaian yang menyeluruh pada
norma-normanya dan kemudian menyatukan kembali, menilai karya sastra sebagai
keseluruhan yang utuh.Seperti pernah dikemukakan oleh Asrul Sani yang telah
dikutip bahwa kerapkali kritikus lebih mementingkan tokoh daripada karya
sastranya sendiri (sekiranya bla ada kritik sastra).Hasil-hasil kritik sastra
itu berupa pidato radio, timbangan buku, esai-esai dalam majalah, ceramah dan
seminar, dan studi yang berbentuk buku.
BAB VI
PARA KRITIKUS SASTRA INDONESIA MODERN DAN KARYANYA
1.
H. B. JASSIN
H. B. Jassin merupakan kritikus dalam sastra Indonesia yang
terutama, baik oleh pekerjaan sastranya maupun jumlah karyanya. Dia lahir tahun
1917 (31 Juli 1917), Telah dialaminya tiga atau empat angkatan kesusastraan,
kesusastraan Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan
50 (ia menamakan angkatan 66).
Meskipun ia telah menulis da menyiarkan sajak dan cerita
pendek, namun terutama ia menulis beberapa kritik sastra, Ia juga menyusun
antologi atau bunga sampal sastra, penulis studi penerjemah, seorang redaktur
majalah-majalah kesusastraan, dan dokumentator kesusastraan yang tangguh.
Buku-buku yang telah diterbitkan Kesusastraan Indonesia di masa Jepang, bunga
rampal prosa dan puisi hasil karya para sastrawan Kesusastraan Angkatan Perang
Dunia II, Nilai buku ini terutama terletak pada nilai dokumenternya.
Dengan hasilnya yang agak banyak dan kritiknya yang berarti
itu H. B. Jassin menduduki kedudukan yang penting dalam perkembangan
kesusastraan Indonesia modern, ditambah pula oleh ketekunannya yang tak kunjung
mengendor, bahkan karena kedudukannya yang dominan itu, ia oleh salah seorang
tokoh sastra Indonesia. Gajus Siagian, dijuluki “Faus” dari kritikus-kritikus
Indonesia, selanjutnya dikatakan Siagan : “Tidaklah berlebih-lebihan kalau saya
sertai dengan penghargaan terhadap autoritas dan jasanya…”. Dengan hasilnya
yang banyak itu dan pengaruh nya yang besar, ia menjadi pengarah kesusastraan
Indonesia baik secara langsung atau tidak.
2.
AMAL HAMZAH
Amal Hamzah mengumpulkan esai-esai kritiknya dalam buku dan
penulis.Buku dan penulis merupakan kumpulan kritik terhadap karya-karya sastra
17 penulis Indonesia modern.Sepert kritik dan Esai H. B. Jassin, Buku ini tidak
disusun berdasrkan perkmbangan sejarah kesusatraan Indonesia dan juga tidak
lengkap. Sebagian besar hampir semua adalah pengarang sebelum Perang Dunia II,
seperti Merari Siregar, Marah Rusli, Adi Negara, HAMKA, Armijn Pane dan yang
lainnya.
Hampir-hampir Amal Hamzah dalam beberapa kupasannya tidak
melakukan analisis ataupun hanya menyebutkan hal yang tidak berarti, sedangkan
hal-hal yang lain didalamnya saja, misalnya pada Dibawah Lindungan Ka’bah karya
HAMKA (halm 87), ini hanya meninjau cara melukiskan perasaan saja, sedangkan
hal-hal yang lain tidak disoroti yang sesungguhnya lebih penting sehingga
dengan demikian buku “diapa-apakan”. Karena sibuk pada hal-hal yang kurang
penting, maka ia melupakan hal-hal yang penting misalnya pada Belenggu.
3.
AJIP ROSIDI
Yang dibicarakan dalam buku Ajip Rosidi Cerita Pendek Indonesia
adalah khusus mengenai cerita pendek. Dalam bukunya ia membicarakan cerita
pendek dari permulaan tumbuhnya, dengan mulai pembicaraan-pmbicaraanya M.Kasim
dan Suman Hs, sampai pertumbuhannya yang terakhir (1959), yang ditutup dengan
pembicaraan cerita pendek Sukanto S.A,Sastrawan seangkata Ajip.
Denga hanya meninjau pokok-pokok ini Ajip, dapat dikatakan
bahwa ia tidak meninjau bahasa dan gaya kalimat, tetapi hanya sedikit, tidak
lengkap, memang dapat diakui Ajip pandai mengemukakan persoalan yang diungkapkan
oleh pengarang dan pandai menceritakan kembali dengan liku-liku persoalan dan
pemikiran pengarang hingga menjadi jelas kepada pembaca apa yang digarap dan
menjadi tujuan sastrawan dalam penulisannya. Kutipan berikut ini kiranya
membuktika kecakapan Ajip dalam mengemukakan persoalan dan menceritakan
kembali.
Yang
paling baik dan bulat secara keseluruhan adalah “Kisah Martini” yang melukiskan
Martini, seorang janda muda, main api dengan Herman, seorang anggota Parlemen
yang bersemboyan : mereguk hidup sepuas-puasnya. Dalam melukiskan pertumbuhan
cinta dalam diri Martni melalui kejadian-kejadian yang namun diperhatikan
oleh kaum wanita, sampai pada pelukisan perjuangan batin Martini takkala ia
hendak menggugurkan kandungannya, Achidat sangat kuat dan menguasai diri, dalam
cerpen ini tak terasa ada yang lebih atau yang dibikin-bikin, semuanya lengkap
dan bulat. Dalam mengungkapkan kewanitaan yang halus namun mesra, Achidat pun
dikatakan berhasil (hlm 15).
4.
J. U. NASUTION
Hasil
karya J.U. Nasution memiliki perbedaan dengan hasil karya Ajip Rosidi yang
tidak mementingkan aspek-aspek penelitian ilmiah dalam kritiknya, seperti
sumber pengutipan dan sebagainya.Nasution benar-benar memperhatikan aspek ini
sebagai aspek yang sangat penting.
Namuan metode tersebut dikritik oleh
beberapa kalangan diantaranya adalah oleh Mh Rustandi Kartakusumah dalam “Fa’al
Pengajaran Sastra di Perguruan Tinggai dan Sekolah Lanjutan dalam Perkembangan
Sastra”, bukunya itu ditujukan sebagai kritik atas karya Nasution yang
berjudul “Sitor Situmorang sebagai Pengarang Cerita Pendek” (Sebelum
dibukukan).
J.
U. Nasution banyak menulis buku yang diantara bukunya itu adalah “Sitor
Situmorang sebagai Pengarang Cerita Pendek” dan buku keduanya “Sanusi Pane”,
metode kritiknya bersifat induktif, hanya bersifat penafsiran apa yang ia baca
dari sya’ir-sya’ir dan cerita pendek.
Dalam pembahasan Drama Sanusi Pane
nampaknya Nasution sudah melakukan beberapa penilaian, namun tetap saja masih
kurang, karena hanya menilai pada perwatakannya saja, tidak mempertimbangkan
norma-norma sastra yang lain.
5. Junus Amir Hamzah
Dalam
bukunya “Hamka sebagai Pengarang Roman”, ia memberikan analisis terhadap dua
roman Hamka yang berjudul, Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van
der Wick. Di dalamnya diuraikan tentang ajaran takdir, pengaruh-pengaruh
terhadap Hamka, plot, dan tema.
Amir
Hamzah mengemukakan bahwa tak cukup hanya melakukan penafsiran-penafsiran saja
terhadap karya sastra tapi harus juga memperhatikan aspek penilaian yang menyeluruh.
Akan
tetapi jika ditelisik lagi dari karyanya ini, teryata kritik sastranya masih
belum menyeluruh, sama seperti kritikus-kritukus sebelumnya, hanya bersifat
menerima begitu saja apa yang diungkap oleh seorang penulis (relativisme).
Hamka
mengaku terpengaruh oleh ajaran takdir, tapi unsur keberhasilan ajaran ini
tidak dihubungkan dengan unsur-unsur lainya.
6. Boen S. Oemardjati
Boen
S. Oemardjati menulis sebuah karya monumental berjudul Pembicaraan Roman
Atheis, di dalamnya dibicarakan bukan hanya penafsiran, tapi juga diungkap
tentang kelebihan dan kekurangan karyanya secara lengkap tidak seperti
karya-karya tokoh kritik sastra sebelumnya.
7. M. S Hutagalung
Dalam
bukunya ”Jalan tak ada Ujung, Muchtar Lubis” ia menyoroti karya sastra Lubis
dengan analisis Ilmu jiwa dalam, filsafat eksistensialisme dan sosiologi.
Meninjau gaya bahasanya dan juga menguraikan latar belakang cerita tersebut.
Namun
dalam penguraiannya terdapat proporsi yang tidak seimbang, dalam penguraiannya
ia terlalu banyak membahas kepada yang berkaitan dengan teori, dan hanya
bersifat penafsiran saja. Ia hanya mengungkapkan contoh-contoh tanpa
mengungkapkan bagaimana berhasilnya karya tersebut sebagai pernyataan sastra. M.
S Hutagalung meninjau kesalahan-kesalahan gaya bahasa Muchtar Lubis, ia
memandang bahwa pekerjaan Lubis sebagai seorang wartawan yang terbiasa menulis
cepat membuat karyanya kurang lengkap. Ia menilai dari segi tata bahasa
normatif tapi tidak meninjau dari segi pernyataan ekspresif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar