Selasa, 07 Juni 2016

RESUME BUKU “PRINSIP-PRINSIP KRITIK SASTRA” KARANGAN: RACHMAT DJOKO PRADOPO



Oleh: Khotimatul Aminah

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam bidang keilmuan, karya-karya sastra yang begitu banyak dan terus bertambah saja itu meminta pertimbangan penuh untuk dipertimbangkan (dikritik), digolong-golongkan, dan disusun menurut perkembangan sejarahnya, dari sejak terbitnya hingga taraf terakhir. Sedangkan hal-hal yang penting, seperti penyusunan sejarah sastra Indonesia yang lengkap dan mendalam belum ada, juga penyelidikan yang berupa analisis sastra, penyelidikan gaya, dan sebagainya, yang bersangkut paut dengan bidang teori sastra belum ada, begitu pula penyelidikan dalam kritik sastra.
Sudah kita sadari kepentingan kritik sastra, baik dalam bidang keilmuan, masyarakat, maupun perkembangan kesusastraan sendiri. Karya sastra sebagai karya seni perlu mendapat pertimbangan dalam hal mutu seninya, bermutu atau tidaknya sebagai karya seni. Kepentingan kritik sastra bagi masyarakat pada umumnya untuk penerangan. Segi-segi yang masih gelap hingga menyukarkan pemahaman karya sastra dapat dijelaskan oleh kritik sastra yang baik. Dengan hal demikian ini, kemampuan pemahaman masyarakat terhadap karya sastra dapat dipertinggi hingga dengan demikian kegunaan karya sastra dapat diambil sebanyak-banyaknya oleh masyarakat. Seperti pendapat Horace, fungsi seni sastra ialah dulce et etile (menyenangkan dan berguna).
Kritik sastra sangat berguna pula bagi para sastrawan, lebih-lebih sastrawan muda yang baru mulai memperkembang bakatnya. Mereka dapat belajar dari kritik sastra yang baik, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan karya sastra yang ditelitinya secara objektif. Pun seorang kritikus yang baik kerapkali dapat menjadi pengarah kesusastraan, dengan mempertinggi selera sastra yang baik. Disamping itu, ia dapat menunjukkan daerah-daerah atau lapangan-lapangan baru yang belum pernah digarap sastrawan. Juga menunjukkan penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi masyarakat kepada sastrawan-sastrawan yang mengangkat masalah-masalah tersebut ke dalam karya sastranya. Dengan begitu kesusastraan akan berkembang, baik dalam hal jumlah maupun mutunya.
BAB II
KRITIK SASTRA
“Perkataan kritik (critism) dalam artinya yang tajam adalah penghakiman (judgement), dan dalam pengertian ini biasanya memberi corak pemakaian kita akan istilah itu, meskipun bila kata itu dipergunakan dalam pengertian yang paling luas. Karena itu kritikus sastra pertama kali dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki suatu kepandaian khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu karya seni sastra, atau pekerjaan penulis tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya dan menyatakan pendapatnya temtang hal itu”.
Dalam kritik sastra suatu karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu kemudian ditentukan berdasarkan teori-teori penilaian karya sastra, bernilai atau tidak bernilaikah, bermutu seni atau tidak bagian-bagian atau unsur-unsur karya sastra yang diselidiki atau yang dianalisis itu. Baru sesudah itu, dengan pertimbangan-pertimbangan seluruh penilaian terhadap bagian-bagian yang merupakan kesatuan yang erat, dengan menimbang mana yang bernilai dan mana yang tidak atau kurang bernilai, maka kritikus baru menentukan karya tersebut bernilai tinggi, sedang, kurang bernilai, atau tidak bernilai sastra. Tentu saja tak dapat dipisahkan pembicaraan kritik sastra dengan kritikus sastra. Kritik sastra adalah hasil kerja seorang kritikus sastra.
“Kritik sastra bersangkut paut dengan puisi, drama, novel, bahkan kritik sendiri. Bila kesusastraan kreatif dapat didefinisikan sebagai suatu tafsir (interpretasi) kehidupan dalam berbagai bentuk seni sastra, kritik sastra dapat didefinisikan sebagai suatu penafsiran kepada suatu penafsiran itu dan kepada bentuk-bentuk seni yang memberikan tafsiran kehidupan tersebut”.
Seorang kritikus harus bersandar kepada ilmu pengetahuan seperti ilmu kemasyarakatan, ilmu jiwa, ilmu filsafat, bahkan sampai ilmu eksakta, etika/moral, agama, dan sebagainya. Dengan syarat-syarat tersebutlah kritiknya berwenang. Seperti juga kata H. B Jassin. “Pertimbangan itu tentu dengan memberikan pertimbangan alas an-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusastraan. Oleh karena isi kesusastraan adalah seluruh kehidupan, maka perlulah seorang yang mau menjadi kritikus, mengenal lebih baik, mengalami kehidupan sehingga tiada asing baginya dalam sifat-sifat dan jiwa manusia dan lagi mempunyai dasar pengetahuan yang luas, supaya pertimbangannya jangan berat sepihak”. Pada pokoknya kritik sastra mempunyai tiga kegunaan atau tugas. Pertama, kritik sastra berguna bagi keilmuan sastra sendiri, kedua, bagi perkembangan kesusastraan dan yang ketiga, berguna bagi masyarakat pada umumnya yang menginginkan penerangan tentang karya sastra.
W. h. Hudson menulis dalam bukunya, “Fungsi yang terutama bagi kritik ialah memperjelas dan memberi dorongan. Bila seorang penyair besar membuat kita menjadi orang yang turut mengalami (memiliki) perasaannya yang luas tentang arti hidup, seorang kritikus mungkin menjadikan kita orang yang turut mengambil bagian perasaanya yang luas tentang arti kesusastraan.
Seorang kritikus sering memberikan kepada kita suatu pandangan yang sama sekali segar, baru, sering juga memberikan bantuan istimewa dengan cara menterjemahkan ke dalam bentuk yang terbatas, kesan-kesan kita sendiri yang kita kenal secara samar-samar, tetapi masih begitu sukar untuk menjadi nilai yang praktis. Kadang-kadang ia adalah seorang penunjuk jalan, yang menemukan daerah baru, kadang-kadang ia seorang teman yang ramah, yang menunjukkan aspek-aspek yang sampai sekarang belum tertangkap, bahkan dalam hal-hal yang paling biasa kita alami bersama. Begitulah ia mengajar kita untuk membaca kembali bagi diri kita sendiri dengan kepandaian yang menjadi cepat dan apresiasi yang lebih tajam”
Disebabkan ada perbedaan orang dan perbedaan pengalaman dan kecakapan, tak mengherankan bila ada bermacam-macam cara para kritikus dalam mengeritik karya sastra. Berkatalah Gajus Siagian dalam prasarannya untuk symposium tahun 1956 di Jakarta, Saya yakin bahwa kritik yang lunak akan lebih merusak perkembangan sastra kita daripada memajukannya. Sdr. Jassin selalu berpendirian bahwa sebagai kritikus kita tidak boleh terlalu keras dan harus memberi kesempatan pada sastrawan-sastrawan muda. Cuma mengenai memupuk bakat-bakat sastrawan-sastrawan muda ini saya tidak setuju dengan dia, sepanjang saya dapat memahami caranya. Kalau saya sudah tahu bahwa saya berhadapan dengan seorang snop, epigon, atau plagiator, saya akan berusaha untuk mematikan hasratnya untuk menulis lagi, sekalipun semangatnya berkobar-kobar. Sebaliknya kalau saya melihat bahwa seorang pemuda mempunyai bakan menjadi pengarang, saya akan berusaha sedapat mungkin untuk merangsang kemauannya dan memberikan petunjuk.
Atas tuduhan itu H. B Jassin menjawab “Saudara Siagian menyebut-nyebut kritik lembut, toleransi yang berlebih-lebihan, sifat kompromistis sebagai hal yang funest bagi pengarang yang dikritik. Dengan menghilanaagkan predikat yang berlebih-lebihan pada toleransi, saya ingin bertanya, “apakah kritik yang sebaliknya daripada itu lebih bermanfaat?” kalau saya bertanya beginisaya takut membuat kesalahan yang sama seperti saudara Siagian, yaitu pemikiran yang seperti lalu lintas satu jurusan”.
Menurut bentuknya kritik sastra digolongkan menjadi kritik teori dan kritik praktik/terapan. Kritik sastra teori adalah bidang kritik sastra yang berusaha (bekerja) untuk menetapkan, atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah-istilah yang tali temali, pembdaan-pembedaan dan kategori-kategori untuk diterapkan pada pertimbangan dan interpretasi karya sastra, maupun penerapan “kriteria” (standar atau norma-norma), yang dengan hal-hal tersebut itu karya-karya sastra dan para sastrawannya dinilai. Kritik praktik merupakan diskusi karya-karya sastra tertentu dan pengarang-pengarangnya. Kritik praktik berupa penerapan teori-teori kritik yang dapat dinyatakan secara eksplisit dan implisit berdasarkan keperluannya.
Menurut pelaksanaannya kritik sastra oleh Abrams dibagi menjadi kritik judisial dan kritik impressionistic. Sedangkan W. H Hudson menggolongkan kritik sastra menjadi kritik judisial dan kritik indukatif. Kritik judisial adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, dan gayanya, dan mendasarkan pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra. Kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif. Kritik impressionistic adalah kritik yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata atas sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya sastra, dan mengekspresikan tanggapan-tanggapan (impressi) kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra tersebut.
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, Abrams membagi kritik sastra ke dalam 4 tipe : kritik mimetic, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif. Kritik mimetik adalah memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia, dan kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran penggambaran, atau yang hendaknya digambarkan. Kritik pragmatik adalah memandang karya sastra sebagai sesuatu sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentuk pada audience (pendengar, pembaca), baik berupa efek-efek kesenangan estetis ataupun ajaran/pendidikan, maupun efek-efek yang lain. Kritik ekspresif memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri. kritik ini cenderung untuk menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, dan kecocokannya dengan visium (penglihatan batin) individual penyair atau pengarang atau keadaan pikirannya. Kritik obyektif menganalisis karya sastra sebagai sebuah obyek yang mencukupi dirinya sendiri atau hal yang utuh, atau sebuah dunia yang ada dalam dirinya (otonom), yang harus ditimbang atau dianalisis dengan kriteria intrinsik seperti kompleksitas, keseimbangan, integritas, dan saling hungan antara unsur-unsur pembentuknya.








BAB III
PENILAIAN KARYA SASTRA
Ada tiga paham mengenai penilaian karya sastra yaitu penilaian relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme ialah penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra sehingga karya sastra yang sudah dinilai baik pada tempat dan zamannya itu tidak perlu dinilai lagi tapi diterima begitu saja. Penilaian absolutivisme ialah penilaian yang menilai karya sastra berdasarkan pandangan yang sempit seperti paham, aliran, politik dan bukan pada hakikat seni itu sendiri. Dan penilaian perspektif ialah penilaian yang menilai karya sastra dari berbagai sudut pandang yaitu menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbit dan nilainya pada masa-masa yang telah dilaluinya. Metode literer (seperti kritik induktif) yaitu penilaian karya sastra secara objektif berdasarkan hakikatnya (bentuk dan isi), tidak dapat diukur dengan ukuran subjektif kritikus/ sastrawan sendiri. Metode analisis formal yaitu meninjau karya sastra dari segi yang tampak oleh mata tanpa dihubungkan dengan penilaian apa yang diungkapkan dengan bentuk itu. Metode phenomenologi yaitu menganalisis lapis-lapis norma dalam karya sastra. Lapis norma itu mulai dari lapis terendah berupa lapis suara/ bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia implisit hingga lapis metafisika sebagai lapis tertinggi. Berikut penjelasannya : 1. Lapis suara/ bunyi adalah bunyi-bunyi yang kuat yang digunakan mengekspresikan pengalaman jiwa. 2. Lapis arti adalah kesatuan konteks, syntagma, dan pola kalimat dalam karya sastra yang dapat memberi arti. 3. Lapis objek adalah dunia pengarang, pelaku/ tokoh dalam karya sastra, dan tempat. 4. Lapis dunia implisit adalah dunia yang dapat dimengerti dari gambaran objek dalam karya sastra meskipun tidak dinyatakan (implisit). 5. Lapis metafisika adalah pandangan hidup/ filsafat dalam karya sastra sehingga memberi kesempatan untuk memikirkan sifat mulia, tragis, mengerikan, dan suci. Setelah karya sastra dinilai berdasarkan norma-normanya, dapat disimpulkan karya sastra itu bernilai atau tidak. Pandangan tentang lapis-lapis ini mengganti pandangan lama yang menyatakan bahwa karya sastra terdiri atas bentuk dan isi. Dalam menilai karya sastra harus berdasarkan dua kriteria yaitu bersifat seni atau estetik yaitu indah seperti pilihan kata yang tepat, kombinasi kata/ kalimat yang menimbulkan efek puitis, penyusunan plot yang baik, ada konflik yang hebat, humor, dan sebagainya. Dan bersifat ekstra estetik yaitu dapat mengekspresikan nilai kehidupan yang besar dengan memunculkan pikiran yang cemerlang, perwatakan yang kompleks, cerita yang hebat, dan gambaran kehidupan yang menimbulkan renungan. Selain itu perlu dilihat berhasil tidaknya sastrawan menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia begitu juga pengalaman jiwa terdiri atas lima tingkatan (niveaux) yaitu : 1. Tingkatan pertama (niveau anorganis) yang sifatnya seperti benda mati, berupa pola bunyi irama, baris sajak, alinea, kalimat, perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya. 2. Tingkatan kedua (niveau vegetatif) sifatnya seperti tumbuhan, yang ditonjolkan adalah suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian kata-kata berupa suasana menyenangkan, menyedihkan, romantis, marah, khusuk, dan sebagainya. 3. Tingkatan ketiga (niveau animal) sifatnya seperti binatang yaitu ada nafsu jasmaniah berupa nafsu naluriah, nafsu makan, minum, seksual, dan sebagainya. 4. Tingkatan keempat (niveau human) seperti manusia yaitu pengalaman yang dirasakan oleh manusia berupa renungan batin, konflik kejiwaan, rasa belas kasihan, simpati, moral dan sebagainya. 5. Tingkatan kelima (niveau religius/ filosofis) yaitu renungan sampai pada hakikat tapi tidak dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari, hanya dialami jika sholat, dzikir, doa, merenungkan dunia beserta kehidupannya, berupa renungan batin sampai pada hakikat, hubungan manusia dengan Tuhan seperti doa, pengalaman mistik, filsafat dan sebagainya. Karya sastra makin banyak memancarkan tingkat keempat makin memperjelas kehalusan jiwa dan memperbesar perasaan kemanusiaan dan peradaban.










BAB IV
ANALISIS KARYA SASTRA DAN PENERAPAN NILAI
Puisi adalah inti peryataan sastra demikianlah menurut sejarah dan hakekatnya.menurut sejarahnya, pernyataan sastra pada semua bangsa dimulai dengan puisi, bahkan pada permulaan masa perkembangan itu, satu-satunya pernyataan sastra yang dipandang kesusastraan adalah puisi.
            Juga dizaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai kemungkinan pernyataan yang lain, puis tetap menempati kedudukan yang sentral dalam kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. saya kira keadaan ini disebabkan oleh hakikat puisi itu sendiri. Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi.didalam puisi terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Didalam poisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh prosa.”

Lapis Arti
Cathedrale de Charteres: gereja di kota Chartres, bergaya ghotihik. Kata ini membawa kita kepada suasana ketuhanan. Ia. Isa burung putih-putih: burung-burung menjadi putih karena kena salju. Akan bicarakah ia di malam sepi: apakah Isa/Kristus masih akan diingat kembali di waktu malam yang sunyi itu. Disini Isa melambngkan kesucian, kejujuran, kebaikan, dan juga kesetian.Puisi tak dapat dipisahkan juga dari penyairnya.Dalam sajak ini sitor situmorang.Berdasarkan esei-eseinya, kesastraaan sitor situmorang dipergunakan untuk membuka kekacauan.Seperti membuka kedok kekacauan batin menghadapi kehidupan yang lebih kompleks, jalin menjalin.Ia adalah seorang kristen eksistensialis. Sebagai seorang eksistensialis ingin mengecap hidup sebanyak-banyaknya pada waktu kini, mempergunakan segala eksistensinya, namun sering bertentangan dengan moral dan agama hingga menimbulkan pertentangan-pertentangan batin, konflik-komflik kompleks.Berdasarkan analisis ternyata dapatlah dilihat bahwa dalam sajak situmorang itu tersebar pengalaman jiwa penyair, berupa konflik-konflik kejiwaan, kesadaran, eksistensinya, keagamaan dan moralnya.

BAB V
TEORI KRITIK DAN PELAKSANAAN KRITIK DALAM
KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
1.      Teori Kritik dalam Kritik Sastra Indonesia Modern
Sejak terbitnya Roman Azab dan sengsara karya Merar Siregar pada tahun 1921.maka mulailah tradisi baru dalam sejarah kesusastraan Indonesia, mulai tradisi baru yang coraknya berlainan dengan kesusastraan lama (kesusastraan melayu), baik dalam persoalannya, pandangan hidup, latar belakang maupun gayanya. Sejak roman Indonesia pertama terbitan Balai Pustaka itu, maka tak putus-putusnya sastrawan Indonesia, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Juga dengan bertambahnya gaya, corak, serta persoalannya berkembang sesuai dengan pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal itu disebabkan oleh karya sastra itu merupakan panvaran jiwa pengarangnya.Pengarang sebagai anggota masyarakat, maka tak dapat lepas dari persoalan-persoalan masyarakat yang melingkunginnya.persoalan itu menyangkut bidang perekonomian, kemasyarakatan maupun politik cita-cita dan sebagainya.     
            Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan niai-nilai moral hngga dengan demikian sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum karya sastra sebagai karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang langsung, sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan nomor dua.Tero kritik sastra taraf kedua sudahlah lebih jelas dan tegas dari taraf yang pertama, yaitu ketika timbulnya sastrawan sastrawan yang tergolong Angkatan Pujangga Baru.Para sastrawan sudah mengemukakan pahamnya tentang kesusastraan yang ditulisnya dalam bentuk esay dan kritik sastra.Dalam masa Pujangga Baru itu sudah bergema pertentangan paham tentang karya sastra yang berupa paham “seni untuk seni” dan “seni bertendens”. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada semboyan “seni untuk seni” tegas diwkili oleh Sanusi Pane, yang menghendaki seni yang murni, seni untuk kepentingan seni, seni yang berdiri otonom, bahkan untuk kepentingan seni “murninya” pada permulaanya ia mementingkan bentuk pengucapannya “seninya” dari “isi” sastranya.
            Pertentangan paham tidak hanya berhenti pada masa Pujangga Baru saja melainkan masih berlanjut hingga kini pula.Dengan pecahnya Perang Dunia II, datanglah perubahan yang besar.Masuknya kekuasaan Jepang ke Indonesia membawa perubahan usunan politik kemasyarakatan, dan perekonomian, segaanya itu mempengaruhi sikap hidup bangsa Indonesia.Tidak ketinggalan pula sastrawannya.Mereka membawa pembaharuan daam kesusastraan Indonesia, mereka memperbarui teori penilaian Pujangga Baru dengan karya-karya mereka yang revolusioner.Mereka ini dipelopori oleh Chairil Anwar dalam bidang puisi dan Idrus dalam bidang prosa.Garis-garis para sastrawan ini makin jelas sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, para sastrawan baru inilah yang kemudian disebut sastrawan Angkatan 45.
            Pada tanggal 17 Agustus 1950 berdirilah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat LEKRA, Dalam LEKRA ini berkumpullah karyawan karyawan seni dan budaya diantaranya para sastrawan yang berpaham rasionalisme (komunisme). Para sastrawan lekra menghedaki kesusastraan yang berpaham realism-sosialis.Paha mini datang dari Negara sosialis Rusia dengan tokohnya atau bapak realism-sosialisnya Maxim Gorky.
MANIFEST KEBUDAYAAN
·         kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini menumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan poitik Kebudayaan Nasional Kami.
·         bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan diatas sector kebudayaan yang lain, setiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kondratnya.
·         dalam melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur jujurnya sebagai perjoangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagi bangsa Indonesia ditengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
·         PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963
 (Majalah SASTRA, No 9/10. Th. III 1963: 27)
            Begitulah paham-paham tentang kesusastraan dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia secara singkat, dari awal timbulnya hingga sekarang.Paham-paham itu sedikit banyak berpengaruh kepada pelaksanaan kritik sastra di Indonesia, bersangkut paut dengan penilaian karya sastra.
2.      Pelaksanaan Kritik dalam Kritik Sastra Indonesia Modern
            Menganaisis karya sastra harus sampai kepada penilaian yang menyeluruh pada norma-normanya dan kemudian menyatukan kembali, menilai karya sastra sebagai keseluruhan yang utuh.Seperti pernah dikemukakan oleh Asrul Sani yang telah dikutip bahwa kerapkali kritikus lebih mementingkan tokoh daripada karya sastranya sendiri (sekiranya bla ada kritik sastra).Hasil-hasil kritik sastra itu berupa pidato radio, timbangan buku, esai-esai dalam majalah, ceramah dan seminar, dan studi yang berbentuk buku.













BAB VI
PARA KRITIKUS SASTRA INDONESIA MODERN DAN KARYANYA

1.       H. B. JASSIN
H. B. Jassin merupakan kritikus dalam sastra Indonesia yang terutama, baik oleh pekerjaan sastranya maupun jumlah karyanya. Dia lahir tahun 1917 (31 Juli 1917), Telah dialaminya tiga atau empat angkatan kesusastraan, kesusastraan Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 50 (ia menamakan angkatan 66).
Meskipun ia telah menulis da menyiarkan sajak dan cerita pendek, namun terutama ia menulis beberapa kritik sastra, Ia juga menyusun antologi atau bunga sampal sastra, penulis studi penerjemah, seorang redaktur majalah-majalah kesusastraan, dan dokumentator kesusastraan yang tangguh. Buku-buku yang telah diterbitkan Kesusastraan Indonesia di masa Jepang, bunga rampal prosa dan puisi hasil karya para sastrawan Kesusastraan Angkatan Perang  Dunia II, Nilai buku ini terutama terletak pada nilai dokumenternya.
Dengan hasilnya yang agak banyak dan kritiknya yang berarti itu H. B. Jassin menduduki kedudukan yang penting dalam perkembangan kesusastraan Indonesia modern, ditambah pula oleh ketekunannya yang tak kunjung mengendor, bahkan karena kedudukannya yang dominan itu, ia oleh salah seorang tokoh sastra Indonesia. Gajus Siagian, dijuluki “Faus” dari kritikus-kritikus Indonesia, selanjutnya dikatakan Siagan : “Tidaklah berlebih-lebihan kalau saya sertai dengan penghargaan terhadap autoritas dan jasanya…”. Dengan hasilnya yang banyak itu dan pengaruh nya yang besar, ia menjadi pengarah kesusastraan Indonesia baik secara langsung atau tidak.
2.      AMAL HAMZAH
Amal Hamzah mengumpulkan esai-esai kritiknya dalam buku dan penulis.Buku dan penulis merupakan kumpulan kritik terhadap karya-karya sastra 17 penulis Indonesia modern.Sepert kritik dan Esai H. B. Jassin, Buku ini tidak disusun berdasrkan perkmbangan sejarah kesusatraan Indonesia dan juga tidak lengkap. Sebagian besar hampir semua adalah pengarang sebelum Perang Dunia II, seperti Merari Siregar, Marah Rusli, Adi Negara, HAMKA, Armijn Pane dan yang lainnya.
Hampir-hampir Amal Hamzah dalam beberapa kupasannya tidak melakukan analisis ataupun hanya menyebutkan hal yang tidak berarti, sedangkan hal-hal yang lain didalamnya saja, misalnya pada Dibawah Lindungan Ka’bah karya HAMKA (halm 87), ini hanya meninjau cara melukiskan perasaan saja, sedangkan hal-hal yang lain tidak disoroti yang sesungguhnya lebih penting sehingga dengan demikian buku “diapa-apakan”. Karena sibuk pada hal-hal yang kurang penting, maka ia melupakan hal-hal yang penting misalnya pada Belenggu.

3.      AJIP ROSIDI
Yang dibicarakan dalam buku Ajip Rosidi Cerita Pendek Indonesia adalah khusus mengenai cerita pendek. Dalam bukunya ia membicarakan cerita pendek dari permulaan tumbuhnya, dengan mulai pembicaraan-pmbicaraanya M.Kasim dan Suman Hs, sampai pertumbuhannya yang terakhir (1959), yang ditutup dengan pembicaraan cerita pendek Sukanto S.A,Sastrawan seangkata Ajip.
Denga hanya meninjau pokok-pokok ini Ajip, dapat dikatakan bahwa ia tidak meninjau bahasa dan gaya kalimat, tetapi hanya sedikit, tidak lengkap, memang dapat diakui Ajip pandai mengemukakan persoalan yang diungkapkan oleh pengarang dan pandai menceritakan kembali dengan liku-liku persoalan dan pemikiran pengarang hingga menjadi jelas kepada pembaca apa yang digarap dan menjadi tujuan sastrawan dalam penulisannya. Kutipan berikut ini kiranya membuktika kecakapan Ajip dalam mengemukakan persoalan dan menceritakan kembali.
Yang paling baik dan bulat secara keseluruhan adalah “Kisah Martini” yang melukiskan Martini, seorang janda muda, main api dengan Herman, seorang anggota Parlemen yang bersemboyan : mereguk hidup sepuas-puasnya. Dalam melukiskan pertumbuhan cinta dalam diri Martni melalui kejadian-kejadian  yang namun diperhatikan oleh kaum wanita, sampai pada pelukisan perjuangan batin Martini takkala ia hendak menggugurkan kandungannya, Achidat sangat kuat dan menguasai diri, dalam cerpen ini tak terasa ada yang lebih atau yang dibikin-bikin, semuanya lengkap dan bulat. Dalam mengungkapkan kewanitaan yang halus namun mesra, Achidat pun dikatakan berhasil (hlm 15).
4.      J. U. NASUTION
Hasil karya J.U. Nasution memiliki perbedaan dengan hasil karya Ajip Rosidi yang tidak mementingkan aspek-aspek penelitian ilmiah dalam kritiknya, seperti sumber pengutipan dan sebagainya.Nasution benar-benar memperhatikan aspek ini sebagai aspek yang sangat penting.
Namuan metode tersebut dikritik oleh beberapa kalangan diantaranya adalah oleh Mh Rustandi Kartakusumah dalam “Fa’al Pengajaran Sastra di Perguruan Tinggai dan Sekolah Lanjutan dalam Perkembangan Sastra”, bukunya itu ditujukan sebagai kritik atas karya Nasution yang  berjudul “Sitor Situmorang sebagai Pengarang Cerita Pendek” (Sebelum dibukukan).
J. U. Nasution banyak menulis buku yang diantara bukunya itu adalah “Sitor Situmorang sebagai Pengarang Cerita Pendek” dan buku keduanya “Sanusi Pane”, metode kritiknya bersifat induktif, hanya bersifat penafsiran apa yang ia baca dari sya’ir-sya’ir dan cerita pendek.
Dalam pembahasan Drama Sanusi Pane nampaknya Nasution sudah melakukan beberapa penilaian, namun tetap saja masih kurang, karena hanya menilai pada perwatakannya saja, tidak mempertimbangkan norma-norma sastra yang lain.

5.      Junus Amir Hamzah
Dalam bukunya “Hamka sebagai Pengarang Roman”, ia memberikan analisis terhadap dua roman Hamka yang berjudul, Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wick. Di dalamnya diuraikan tentang ajaran takdir, pengaruh-pengaruh terhadap Hamka, plot, dan tema.
Amir Hamzah mengemukakan bahwa tak cukup hanya melakukan penafsiran-penafsiran saja terhadap karya sastra tapi harus juga memperhatikan aspek penilaian yang menyeluruh.
Akan tetapi jika ditelisik lagi dari karyanya ini, teryata kritik sastranya masih belum menyeluruh, sama seperti kritikus-kritukus sebelumnya, hanya bersifat menerima begitu saja apa yang diungkap oleh seorang penulis (relativisme).
Hamka mengaku terpengaruh oleh ajaran takdir, tapi unsur keberhasilan ajaran ini tidak dihubungkan dengan unsur-unsur lainya.

6.      Boen S. Oemardjati
Boen S. Oemardjati menulis sebuah karya monumental berjudul Pembicaraan Roman Atheis, di dalamnya dibicarakan bukan hanya penafsiran, tapi juga diungkap tentang kelebihan dan kekurangan karyanya secara lengkap tidak seperti karya-karya tokoh kritik sastra sebelumnya.

7.      M. S Hutagalung
Dalam bukunya ”Jalan tak ada Ujung, Muchtar Lubis” ia menyoroti karya sastra Lubis dengan analisis Ilmu jiwa dalam, filsafat eksistensialisme dan sosiologi. Meninjau gaya bahasanya dan juga menguraikan latar belakang cerita tersebut.
Namun dalam penguraiannya terdapat proporsi yang tidak seimbang, dalam penguraiannya ia terlalu banyak membahas kepada yang berkaitan dengan teori, dan hanya bersifat penafsiran saja. Ia hanya mengungkapkan contoh-contoh tanpa mengungkapkan bagaimana berhasilnya karya tersebut sebagai pernyataan sastra. M. S Hutagalung meninjau kesalahan-kesalahan gaya bahasa Muchtar Lubis, ia memandang bahwa pekerjaan Lubis sebagai seorang wartawan yang terbiasa menulis cepat membuat karyanya kurang lengkap. Ia menilai dari segi tata bahasa normatif tapi tidak meninjau dari segi pernyataan ekspresif.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar