ARTIKEL
ALIH INFORMASI
DALAM RANGKA PENDAYAGUNAAN NASKAH JAWA KUNA
Oleh : Khotimatul AMinah
Naskah merupakan alat rekam berbagai aktifitas pemiliknya,
begitulah fungsi naskah yang disampaikan Oman Fathurahman dalam pengantar
penyusunan Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar. Pada masanya, keberadaan
naskah sangat dibutuhkan karena dianggap sebagai alat yang paling efisien dan
tahan lama. Sehingga, sebagai salah satu artefak hasil kegiatan manusia, naskah
menyimpan banyak potensi yang mampu mengungkapkan nilai-nilai sejarah yang dimiliki
oleh penulis, pemilik, maupun daerah tempat ditulisnya naskah tersebut.
Keberadaan naskah di Indonesia merupakan sebuah fenomena
tersendiri. Khazanahnya yang melimpah bagaikan bom waktu yang berpotensi
meledakkan sendi-sendi sosial dan budaya apabila tidak ada yang mampu
menjinakkannya melalui pemberian perhatian penuh akan keberadaannya di tengah
masyarakat yang semakin modern dan menyebarkan ajaran-ajaran yang terdapat di
dalamnya. Ledakan yang dimaksud adalah hilangnya jejak-jejak peradaban yang dibangun
oleh naskah itu sendiri. Dibanding benda cagar budaya lainnya, naskah kuno
memang lebih rentan rusak, baik akibat kelembaban udara dan air (high
humidity and water), dirusak binatang pengerat (harmful insects, rats,
and rodents), ketidakpedulian, bencana alam, kebakaran, pencurian, serta
ditambah dengan aktifitas jual beli naskah ke Mancanegara, yang masih kerap
terdengar terjadi di lapangan.
Naskah di Indonesia, khususnya naskah jawa kuna hampir dapat
dipastikan bahwa kondisi naskah yang tersimpan di tangan masyarakat jauh lebih
memprihatinkan dan lebih tidak terawat ketimbang koleksi Perpustakaan Daerah
maupun Universitas. Dalam upaya pelestarian dan pendayagunaan naskah kuno itu,
kita betul-betul ketinggalan transportasi dan salah urus. Konservasi naskah
kuno membutuhkan ahli restorasi terlatih dan profesional dengan jumlah memadai,
bukan sekedar staf alakadarnya yang diperbantukan. Komposisinya pun harus
proporsional dengan jumlah koleksi naskah. Celakanya, sampai kini, Indonesia
tidak memiliki institusi pendidikan terstruktur di bidang konservasi dan
restorasi, sehingga kita tidak pernah “memproduksi” ahli restorasi sendiri
secara terstruktur dan sistematis!. Contohnya perpustakaan di Mangkunegaran dan
Pakualaman Surakarta yang hanya mengandalkan para abdi dalem dalam melakukan
pelestarian dan pendayagunaan naskah. Terlebih dengan memperhatikan latar
belakang keberadaan abdi dalem yang merupakan wujud pengabdian dan kesukarelaan
semata tanpa adanya kemampuan yang memadai dalam ikhwal urus-mengurus naskah.
Perlu kita
sadari, tumbuh dan berkembangnya pengetahuan adalah dari hasil alih informasi
sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan, bahwa penyebarannya dilakukan dengan upaya alih informasi.
Ketika ilmu pengetahuan berkembang di Yunani kemudian diterjemahkan secara
besar-besaran dan dikembangkan oleh ilmuwan muslim, selanjutnya dialihaksarakan
dan dialihbahasakan oleh para ilmuwan Eropa. Yang terjadi kemudian adalah
peralihan dan perkembangan besar-besaran ilmu pengetahuan dari dunia Arab ke
kawasan Eropa.
Di beberapa
tempat tersebut, tentu menyisakan naskah-naskah atau manuskrip yang luput dari
upaya-upaya penerjemahan, sehingga pada akhirnya naskah tersebut memiliki
“makna” yang tak terhingga nilainya.Yang terjadi di Indonesia adalah ketika
zaman pra sejarah hingga zaman sejarah menghasilkan cipta, karsa, budaya
manusia yang dituangkan dalam kata-kata yang ditulis dalam daun lontar, kulit
binatang, batu, tulang hingga dalam bentuk kertas. Tulisan-tulisan tersebut
biasanya berisi sejarah, budaya, filsafat, sastra, pengobatan, tradisi,
permainan, dan lain-lain yang mencerminkan nilai-nalai luhur budaya setempat,
yang biasa kita menyebutnya sebagai “kearifan lokal”. Dimana karena perubahan
dan perkembangan zaman tulisan dan bahasa tersebut tidak dimengerti dan
dipahami lagi saat ini. Guna mengambil, mempelajari dan melestarikan budaya
luhur yang terkandung dalam naskah kuno tersebut perlu diambil langkah-langkah
kongkret untuk upaya menerjemahkannya.
Diperlukan Tindakan
Naskah-naskah
kuno harus segera diselamatkan melalui proses terjemahan (transkrip) dan
transliterasi oleh para peneliti, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku. Agar
anak-anak jaman sekarang mau membaca naskah kuno. Terjemahan naskah kuno
melalui penerbitan buku sangat bermanfaat agar naskah aslinya yang terbuat dari
daun lontar, kulit kayu atau kertas yang sudah berumur ratusan tahun itu tidak
rusak. Jadi, mereka bisa mempelajarinya melalui buku yang telah diterbitkan. Dalam
kerangka warisan nenek moyang itu bukan
hanya bentuk fisiknya saja yang harus dirawat dan dipelihara, melainkan
kandungan isi naskahnya pun perlu dilestarikan kepada masyarakat.
Selain itu
pentingnya pemberian penghargaan dan imbalan yang sesuai, salah satu bentuknya,
bisa berupa pemberian honor yang pantas sesuai dengan jerih payah dan prestasi
peneliti atau penelaah naskah.
Menurut
Sekretaris Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jabar, bila isi materi yang
terkandung dalam naskah merupakan karya sastra, maka untuk mempopulerkannya di
tengah masyarakat harus direncanakan penerbitan karya adaptasinya. Karya
adaptasi adalah pengalihan bentuk dan pengolahan kembali sebuah karya sastra
agar lebih sesuai dengan kalangan pembaca tertentu dalam memperhatikan unsur
lingkungan pada budaya tersebut.
“Kadang-kadang
karya adaptasi lebih hidup dibandingkan karya aslinya,” tuturnya.
Ia mencontohkan, Prof Dr Ajatrohaedi pernah mengadaptasi naskah berbahasa ‘Sunda Wawacan Ogoin Amarsakti’ dalam bentuk cerita anak-anak dengan judul ‘Ogin si Anak Sakti’.“Alangkah baiknya bila naskah-naskah kuno yang ada diadaptasi dalam bentuk roman atau cerita anak-anak, sehingga menjadi menarik,”
Ia mencontohkan, Prof Dr Ajatrohaedi pernah mengadaptasi naskah berbahasa ‘Sunda Wawacan Ogoin Amarsakti’ dalam bentuk cerita anak-anak dengan judul ‘Ogin si Anak Sakti’.“Alangkah baiknya bila naskah-naskah kuno yang ada diadaptasi dalam bentuk roman atau cerita anak-anak, sehingga menjadi menarik,”
Saya masih
yakin, sebagai bangsa yang besar, kita tidak akan pernah melupakan dan
menganaktirikan kekayaan warisan budaya yang bahkan tidak dimiliki oleh setiap
bangsa di dunia ini. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar