Selasa, 07 Juni 2016

ALIH INFORMASI DALAM RANGKA PENDAYAGUNAAN NASKAH JAWA KUNA



ARTIKEL
 
ALIH INFORMASI
DALAM RANGKA PENDAYAGUNAAN NASKAH JAWA KUNA
Oleh : Khotimatul AMinah

Naskah merupakan alat rekam berbagai aktifitas pemiliknya, begitulah fungsi naskah yang disampaikan Oman Fathurahman dalam pengantar penyusunan Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar. Pada masanya, keberadaan naskah sangat dibutuhkan karena dianggap sebagai alat yang paling efisien dan tahan lama. Sehingga, sebagai salah satu artefak hasil kegiatan manusia, naskah menyimpan banyak potensi yang mampu mengungkapkan nilai-nilai sejarah yang dimiliki oleh penulis, pemilik, maupun daerah tempat ditulisnya naskah tersebut.
Keberadaan naskah di Indonesia merupakan sebuah fenomena tersendiri. Khazanahnya yang melimpah bagaikan bom waktu yang berpotensi meledakkan sendi-sendi sosial dan budaya apabila tidak ada yang mampu menjinakkannya melalui pemberian perhatian penuh akan keberadaannya di tengah masyarakat yang semakin modern dan menyebarkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Ledakan yang dimaksud adalah hilangnya jejak-jejak peradaban yang dibangun oleh naskah itu sendiri. Dibanding benda cagar budaya lainnya, naskah kuno memang lebih rentan rusak, baik akibat kelembaban udara dan air (high humidity and water), dirusak binatang pengerat (harmful insects, rats, and rodents), ketidakpedulian, bencana alam, kebakaran, pencurian, serta ditambah dengan aktifitas jual beli naskah ke Mancanegara, yang masih kerap terdengar terjadi di lapangan.
Naskah di Indonesia, khususnya naskah jawa kuna hampir dapat dipastikan bahwa kondisi naskah yang tersimpan di tangan masyarakat jauh lebih memprihatinkan dan lebih tidak terawat ketimbang koleksi Perpustakaan Daerah maupun Universitas. Dalam upaya pelestarian dan pendayagunaan naskah kuno itu, kita betul-betul ketinggalan transportasi dan salah urus. Konservasi naskah kuno membutuhkan ahli restorasi terlatih dan profesional dengan jumlah memadai, bukan sekedar staf alakadarnya yang diperbantukan. Komposisinya pun harus proporsional dengan jumlah koleksi naskah. Celakanya, sampai kini, Indonesia tidak memiliki institusi pendidikan terstruktur di bidang konservasi dan restorasi, sehingga kita tidak pernah “memproduksi” ahli restorasi sendiri secara terstruktur dan sistematis!. Contohnya perpustakaan di Mangkunegaran dan Pakualaman Surakarta yang hanya mengandalkan para abdi dalem dalam melakukan pelestarian dan pendayagunaan naskah. Terlebih dengan memperhatikan latar belakang keberadaan abdi dalem yang merupakan wujud pengabdian dan kesukarelaan semata tanpa adanya kemampuan yang memadai dalam ikhwal urus-mengurus naskah.
Perlu kita sadari, tumbuh dan berkembangnya pengetahuan adalah dari hasil alih informasi sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, bahwa penyebarannya dilakukan dengan upaya alih informasi.  Ketika ilmu pengetahuan berkembang di Yunani kemudian diterjemahkan secara besar-besaran dan dikembangkan oleh ilmuwan muslim, selanjutnya dialihaksarakan dan dialihbahasakan oleh para ilmuwan Eropa. Yang terjadi kemudian adalah peralihan dan perkembangan besar-besaran ilmu pengetahuan dari dunia Arab ke kawasan Eropa.
Di beberapa tempat tersebut, tentu menyisakan naskah-naskah atau manuskrip yang luput dari upaya-upaya penerjemahan, sehingga pada akhirnya naskah tersebut memiliki  “makna” yang tak terhingga nilainya.Yang terjadi di Indonesia adalah ketika zaman pra sejarah hingga zaman sejarah menghasilkan cipta, karsa, budaya manusia yang dituangkan dalam kata-kata yang ditulis dalam daun lontar, kulit binatang, batu, tulang hingga dalam bentuk kertas. Tulisan-tulisan tersebut biasanya berisi sejarah, budaya, filsafat, sastra, pengobatan, tradisi, permainan, dan lain-lain yang mencerminkan nilai-nalai luhur budaya setempat, yang biasa kita menyebutnya sebagai “kearifan lokal”. Dimana karena perubahan dan perkembangan zaman tulisan dan bahasa tersebut tidak dimengerti dan dipahami lagi saat ini. Guna mengambil, mempelajari dan melestarikan budaya luhur yang terkandung dalam naskah kuno tersebut perlu diambil langkah-langkah kongkret untuk upaya menerjemahkannya.
Diperlukan Tindakan
Naskah-naskah kuno harus segera diselamatkan melalui proses terjemahan (transkrip) dan transliterasi oleh para peneliti, yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku. Agar anak-anak jaman sekarang mau membaca naskah kuno. Terjemahan naskah kuno melalui penerbitan buku sangat bermanfaat agar naskah aslinya yang terbuat dari daun lontar, kulit kayu atau kertas yang sudah berumur ratusan tahun itu tidak rusak. Jadi, mereka bisa mempelajarinya melalui buku yang telah diterbitkan. Dalam kerangka warisan nenek moyang  itu bukan hanya bentuk fisiknya saja yang harus dirawat dan dipelihara, melainkan kandungan isi naskahnya pun perlu dilestarikan kepada masyarakat.
Selain itu pentingnya pemberian penghargaan dan imbalan yang sesuai, salah satu bentuknya, bisa berupa pemberian honor yang pantas sesuai dengan jerih payah dan prestasi peneliti atau penelaah naskah.
Menurut Sekretaris Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jabar, bila isi materi yang terkandung dalam naskah merupakan karya sastra, maka untuk mempopulerkannya di tengah masyarakat harus direncanakan penerbitan karya adaptasinya. Karya adaptasi adalah pengalihan bentuk dan pengolahan kembali sebuah karya sastra agar lebih sesuai dengan kalangan pembaca tertentu dalam memperhatikan unsur lingkungan pada budaya tersebut.
“Kadang-kadang karya adaptasi lebih hidup dibandingkan karya aslinya,” tuturnya.
Ia mencontohkan, Prof Dr Ajatrohaedi pernah mengadaptasi naskah berbahasa ‘Sunda Wawacan Ogoin Amarsakti’ dalam bentuk cerita anak-anak dengan judul ‘Ogin si Anak Sakti’.“Alangkah baiknya bila naskah-naskah kuno yang ada diadaptasi dalam bentuk roman atau cerita anak-anak, sehingga menjadi menarik,”
Saya masih yakin, sebagai bangsa yang besar, kita tidak akan pernah melupakan dan menganaktirikan kekayaan warisan budaya yang bahkan tidak dimiliki oleh setiap bangsa di dunia ini. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar