Rabu, 08 Juni 2016
Resume buku Kodikologi Melayu di Indonesia(Barried)
1. ILMU
PERNASKAHAN ATAU KODIKOLOGI
Kodikologi berasal dari kata Latin codex
(jamak: codices) yang artinya naskah, bukan menjadi kodeks. Dahulu, kata codex
dalam bahasa latin menunjukkan ada hubungannya dengan pemanfaatan kayu sebagai
alat tulis; pada dasarnya, kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata codex
kemudian didalam berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik
dalam bentuk naskah(Diringiner;1982:35—36). Robson menyebut kodikologi sebagai
‘pelajaran naskah’, sedangkan Baried menguraikan bahwa kodikologi adalah ilmu
kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan ... kodikologi mempelajari seluk
beluk semua aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan
perkiraan penulis naskah(1998:5).
Seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse
Dain menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan
ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Selanjutnya, tugas dan
‘daerah’ kodikologi antaralain ialah sejarah naskah, penelitian mengenai tempat
naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar
katalog, perdagangan naskah, dan penggunaan naskah-naskah itu. Istilah lain
yang dapat dipakai disamping istilah naskah ialah manuskrip (buku-buku yang
ditulis dengan tangan) dan handscript. Dengan demikian, kodikologi dapat
diartikan sebagai ilmu tentang naskah atau ilmu pernaskahan.
Didalam kodikologi dan filologi,
kita harus membedakan antara kata naskah dan teks. Secara singkat, teks adalah
apa yang terdapat didalam suatu naskah.teks merupakan isi naskah, sedangkan
naskah adalah wujud fisiknya.
2. SITUASI
PERNASKAHAN DI INDONESIA
Semua kawasan yang memiliki huruf daerah
merupakan daerah sumber naskah. Di Sumatera, naskah-naskah terdapat di daerah
Aceh, Batak, Minangkabau, Kerinci, Riau, Siak,Palembang, Rejang di Bengkulu, Pasemah,
dan Lampung. Di Kalimantan, naskah-naskah berasal dari daerah Sambas,
Pontianak, Banjarmasin, dan Kutai. Di Jawa, naskah-naskah terdapat di daerah
Banten, Jakarta, Pasundan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, sepanjang pantai
utara dari Brebes sampai ke Gresik, Madura, dan daerah-daerah pegunungan di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulawesi, dan juga di Bali.
Pada waktu ini, yang paling banyak
menyimpan naskah dalam berbagai bahasa daerah ialah Perputakaan Nasional di
Jakarta yang mencapai 9.626 naskah. Diluar PNRI, banyak sekali tempat yang
menyimpan naskah,seperti berbagai museum, yayasan, pemerintah daerah, masjid,
pesantren, unversitas, dan istana (umpamanya di Surakarta dan Yogyakarta). Disamping
itu naskah juga disimpan oleh masyarakat sebagai warisan dari nenek moyang.
Dari segi bahasa, ada empat bahasa yang
digunakan yaitu:
1. Bahasa
Sunda Kuna; abad ke-16,
2. Bahasa
Jawa; abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19,
3. Bahasa
Sunda; sejak pertengahan abad ke-19,
4. Bahasa
Melayu; akhir abad ke-19 (Ekadji, 1985, 2 dan 7).
Selain bahasa daerah yang
bermacam-macam, pemakaian huruf untuk penulisan naskah pun beraneka ragam.
Voorhoeve menyebutkan huruf batak, huruf rencong kerinci, huruf rencong rejang
atau melayu tengah (yang juga disebut huruf Ka-Ga-Nga, Jaspan 1964). Ada empat
macam huruf yang dipakai untuk menulis naskah-naskah Sunda, yaitu (1) huruf
Sunda Kuna, (2) huruf Jawa-Sunda, (3) huruf arab, dan (4) huruf latin. Huruf
Arab paling banyak digunakan di dalam naskah Sunda (Ekadjati, 1985:6).
Sementara itu, naskahJawa yang
ditulis dengan huruf Arab disebut naskah pegon; hurufnya dinamakan huruf Arab
pegon. T.E Behrend mengemukakan bahwa jumlah naskah Jawa di Indonesia dan Eropa
pasti lebih dari 19.000. masih ribuan lagi yang disimpan ditempat-tempat
pribadi, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
3. DUNIA
NASKAH MELAYU
Huruf yang dipergunakan di dalam naskah
Melayu, pada umumnya, ialah huruf Arab Melayu yang disebut juga huruf Jawi.
Sebagian kecil ada yang tertulis di dalam huruf latin, bahkan ada juga yang
ditulis di dalam huruf daerah. Berapa banyak sebenarnya naskah melayu di
Indonesia. Ismail Hussein mengemukakan angka 5.000, Chambert Loir mengemukakan
4.000, dan Russell Jones sampai pada jumlah 10.000.
Sampai sekarang kita ketahui bahwa
naskah Melayu tersebar hampir di 30 negara. Chamber-Loir mendaftarkan 27
negara, Miller menambahkan data tentang Australia, sedangkan Ibrahim bin Ismail
memberi masukan tentang India. Secara pendek dapat dikatakan bahwa “penyebaran”
naskah Melayu ini berlangsung dengan jalan damai (pembelian, penyalinan, dan
hadiah), dan secara kekerasan (penjarahan pada waktu perang dan penyitaan).
4. NASKAH
MELAYU DI INDONESIA
Naskah Melayu di Indonesia paling banyak
tersimpan di PNRI. Di dalam katalogus Van Ronkel (1909) terdaftar 919 naskah
dan di dalam katalogus Sutaarga dan Jusuf et al. (1972) terdaftar 953. Pada
tahun 1985 diterbitkan “Naskah Melayu Kuno Daerah Riau” yang dikeluarkan dalam
3 buku, yang masing-masing dinamakan bab.
Berdasarkan Katalog Koleksi Naskah
Maluku bahasa Melayu digunakan dalam nakah-naskah yang berasal dari Aceh,
Batak, Banjar, Bugis, Makasar, Maluku, dan Sumbawa.
5. NASKAH
MELAYU DI PERPUSTAKAAN NASIONAL, JAKARTA
Orang
pertama yang mendaftarkan naskah-naskah Melayu yang sekarang tersimpan di PNRI
ialah A.B. Cohen Stuart, 1871 yang seluruhnya berjumlah 76. Di dalam
katalogus-nya, Ronkel selanjutnya mengutarakan masalah sekitar 919 naskah yang
didaftarkan. Yang terdaftar di dalam katalogus Ronkel itu bermacam-macam
asalnya :
a. Naskah-naskah
no. 77—81 didaftarkan oleh L.W.C. van den Berg (NBG 13, 1875, Lampiran B)
b. Koleksi
pinjaman A.B Cohen Stuart sebesar 38 naskah Melayu yang didaftarkan oleh L.W.C
van den Berg (NGB 14, 1876, Lampiran A).
c. Seluruh
koleksi peninggalan H. Von de Wall yang telah dihibahkan kepada Bataviaasch
Genootschap pada tahun 1873, berupa naskah-naskah Melayu, Arab, Jawa, dan yang
ditulis didalam bahasa lain (Van den Berg, 1876).
d. Naskah-naskah
yang diserahkan oleh Algeemene Secretarie pada tahun 1880 dn yang didaftarkan
oleh L.W.C van den Burg (NGB 18,1880:8—12; 17 diantaranya berupa naskah melayu
dan terdaftar sebagai no. 116—132).
e. Naskah-naskah
K.F Holle dicatat di NGB 38, 1900, Oktober, Id dan NGB 39, 1901, Maret, Ic, no.
262-278).
f. Naskah-naskah
yang diperoleh dalam peperangan di Aceh: milik tengku-tengku di Didoh, milik
Tuanku Raja Keumala di Calong, dan berasal dari Keumala di Calong, dll.
g. Naskah-naskah
peninggalan J.L.A. Brandes yang diserahkan sebagai simpanan (NBG 44, 1906,
lampiran I; 60 diantaranya berupa naskah Melayu).
Di samping koleki-koleksi Cohen
Stuart, Von de Wall, dan Brandes, terdapat naskah-naskah yang dibeli,
dihadiahkan, dan dipinjamkan kepada Bataviaasch Genootschap. Naskah ini
berturut-turut dicatat dengan inisial C.st., W., dan Bat. Gen.; kemudian
menyusul nomor urutnya.
6. TIGA
DAFTAR NASKAH MELAYU YANG TERTUA
Ada
tiga daftar tua mengenai naskah-naskah melayu yang telah ada pada tahun-tahun
1696, 1726, dan 1736. Secara berturut-turut akan disajikan daftar Melchior
Leidecker mengenai peninggalan Isaac de St. Martin (A), daftar naskah dalam
tulisan Valentijn (B), dan daftar naskah dalam tulisan Werndly (C).
A. Daftar
Buku dan Naskah Peninggalan Isaac de St. Martin (1696)
1) Hikayat
Carang Kulina
2) Filsafat
islam dalam bahasa melayu
3) Nyayian
nabi Daut dalam bahasa Arab, folio
4) Naskah
mengenai yang baik dan buruk, bunga rampai mengenai ilmu tib, filsafat,
astrologi dalam bahasa Melayu; folio dan oktavo
5) Quran
dalam bahasa Arab dan Melayu, dll( sampai 89)
B. Daftar
Naskah dalam Tulisan Valeentijn (1726)
1) Hikayat
Tanah Hitu
2) Hikayat
Nabi Musa
3) Hikayat
Nabi Yusuf
4) Hikayat
Kalilah dan Daminah
5) Tajussalatin,
dll(sampai 23)
C. Daftar
Naskah dalam Tulisan Werndly (1736)
1) Usul Agama Islam
2) Idah
Agama Islam
3) Idahu
‘I-Fikih
4) Bustanussalatin
5) Tajussalatin
dll.
7. DAFTAR,
KATALOGUS, DAN DESKRIPSI NASKAH MELAYU
Suatu
dafar yang sederhana biasanya haya memuat nomor urut dan judul. Hal ini kita
lihat dalam daftar peninggalan Isaac de St. Martin (1696), daftar Franois
Valentijn (1627) dan daftar Werndly (1736) seperti yang terdapat didalam bab 6.
Data yang dijaring dari 919 naskah ialah butir-butir berikut:
1. Panjang
dan lebar halaman naskah dalam sentimeter;
2. Jumlah
halaman;
3. Jumlah
baris rata-rata pada 1 halaman;
4. Huruf
yang dipakai bukan huruf Arab Melayu;
5. Tempat
dan tanggal naskah ditulis, kalau ada;
6. Asal
naskah, kalau ada;
7. Sebutandi
dalam Notulen Bataviaasch Genootschap (NGB), kalau diketahui;
8. Isi
secara singkat (ada yang tercakup dalam satu baris saja, ada yang sampai
beberapa halamn; kadang-kadang dicantumkan pula kutipan dalam huruf Arab
Melayu) mengenai awal dan akhir teks serta kolofon;
9. Yang
pernah membicarakan naskah itu;
10. Naskah-naskha
lain dengan judul yang sama yang terdapat diberbagai kota dan lembaga di tempat
lain.
Pada tahun 1972, Museum Pusat
mengadakan lagi pendaftaran naskah yang disimpan dalam gedung yang sama. Jika
isiny dibandingkan dengan isi katalogus Van Ronkel (1909), banyak yang berbeda.
Ada yang ditambahkan dan ada juga yang tidak didaftarkan lagi. Katalogus susunan
Juynboll(1899) serta Ricklefs dan Voorhoeve(1977 dan 1982) mendaftarkan semu
naskah Indonesia yang disimpan di dalam berbagai perpustkaan di Inggris,
seluruhnya meliputi lebih dari 1.200 entri yang tersimpan pada 24 lembaga di
sepuluh kota. Dapat kita ambil kesimpulan bahwa memang tidak ada keseragaman
dalam cara mendeskripsi naskah. Agar dalam praktek tidak ada keragu-raguan,
berikut runutan cara mendeskripsi naskah dari awal sampai akhir :
a. Judul
naskah
b. Tempat
penyimpanan naskah
c. Nomor
naskah
d. Ukuran
halaman
e. Jumlah
halaman
f. Jumlah
bari
g. Panjang
baris
h. Huruf
i.
Bahasa
j.
Kertas
k. Cap
kertas
l.
Garis tebal dan garis
tipis
m. Kuras
n. Panduan
o. Pengarang,
penyalin, tempat, dan tanggal penulisan naskah
p. Keadaan
naskah
q. Pemilik
naskah
r.
Pemerolehan naskah
s. Gambar
atau ilustrasi
t.
Isi naskah
u. Catatan
lain
8. ALAS
NASKAH DI INDONESIA
Alas naskah ialah sesuatu yang dipakai
untuk menulis sehingga terbentuk suatu naskah. Jumsari Jusuf mencatat bahwa
naskah-naskah di Indonesia memakai kertas daluwang, daun rontal, daun nipah,
kulit kayu, bambu, dan rotan. Selanjutnya dikatakan bahwa “di masa lalu
sebagian besar tulisan diabadikan pada tonggak batu, lempengan tembaga atau
emas.
Voorhoeve (1970:372—387) banyak
mengemukakan alas naskah yang dipakai di daerah itu, yaitu tanduk(kerbau),
bambu, lontar, kulit kayu, telapak gajah, daluwang, dan kertas yang
kadang-kadang digulung. Pernah saya dengar bahwa batok kelapa dan batang tebu
juga dipakai sebagai alas naskah. Ada alas naskah lain yang disebut oleh Atja untuk
menulis naskah Sunda; antara lain daun kelapa muda(janur), daun enau, daun
pandan, disamping daun rontal, nipah, daluwang, dan kertas(Atja dalam Ekadjati
et al; 1988:9).
9. DAYA
TAHAN NASKAH
Russel Jones pernah mengutarakan
pendapatnya bahwa jarang ada naskah yang dapat bertahan lebih dari dua abad
karena faktor iklim. Hikayat Sri Rama yang disimpan di Perpustakaan Bodleian
Oxford, yang telah dijadikan bahan disertasi adalah salah satu dari 23 naskah
yang berisikan kisah mengenai Sri Rama. Naskah itu ada pada tahun 1633 telah
dihadiahkan Uskup besar Willian Laud dari Canterbury, yang memiliki beberapa
naskah tua dalam bahasa-bahasa di
Indonesia. Diperkirakan bahwa sebelum tahun 1633 itu, naskah telah beberapa
waktu lamanya dia simpan, sehingga rupa-rupanya naskah itu ditulis pada akhir
abad ke-16 atau awal abad ke-17.
Disamping itu, cap kertas (watermark)
“VOC+A” terdapat di dalam 25 naskah. Menurut Voorn, macam kertas ini dibuat
oleh pabrik kertas VOC di Batavia yang hanya bekerja diantara tahun 1665 dan
1681. Akan tetapi, dapat diperkirakan bahwa kertas dengan “VOC+A” masih dibuat
di Ansterdam sampai jatuhnya VOC pada akhir abad 18. Naskah-naskah melayu Bima
dengan cap kertas itu mengisahkan peristiwa-peristiwa pada tahun 1697—1871).
Dengan adanya cap-cap kertas yang tua ini ternyata bahwa kertas yang berasal
dari abad ke-17 dan ke-18 masih dipakai untuk menulis peristiwa-peristiwa yang
terjadi sampai tahu 1871 dan 1891 di dalam naskah melayu bima apakah kertas itu
memang berasal dari abad ke-17 dan ke-18 ataukah jenis kertas itu masih
diproduksi pada abad kemudian, hal tersebut membutuhkan penelitian lebih
lanjut.
10. PENULISAN,
PENYALINAN, DAN PENYEWAAN NASKAH
Kenyataan menunjukkan bahwa
penulis-penulis naskah di Indonesia, sebagian besar tidak mencantumkan namanya.
Hanya beberpa saja nama penulis dapat kita ketahui. Biasanya penulis nama ini
terdapat pada kolofon, yaitu bagian akhir tulisan yang di luar teks.
Penulis dan penyalin naskah terdapat di
dalam berbagai lapisan masyarakat, pria maupun wanita, secara terorganisasi
maupun tidak, atas inisiatif sendiri atau atas pesanan. Ada yang memang berprofesi
sebagai penulis sekaligus penyalin naskah. Diantara mereka, ada yang
meminjamkan hasil karyanya kepada masyarakat. Pada zaman lampau kita dapan
menjumpai penulis atau Pujangga Istana dan penulis yang dipekerjakan oleh pihak
lain, baik oleh perorangan maupun oleh pemerintah Be Pada zaman lampau kita
dapan menjumpai penulis atau Pujangga Istana dan penulis yang dipekerjakan oleh
pihak lain, baik oleh perorangan maupun oleh pemerintah Belanda dan Inggris.
Pada abad ke-19, di beberapa daerah di
Indonesia terdapat tempat-tempat peminjaman naskah yang di dalam berbagai
tulisan disebut (taman-taman bacaan rakyat). adaanya tempat-tempat seperti itu
tentulah menunjukkan bahwamasyarakat meminjam naskah untuk dibaca sendiri atau
dibacakan di depansekelompok pendengar.
Tempat persewaaan naskah di Jakrta, oleh
T. Iskndar (1981) dijelaskan bahwa penyalin naskah-naskah persewaan itu mungkin
juga yang empunya naskah-naskah itu. Tulisannya biasanya tidak bagus, khususnya
jika pemilik juga merupakan penyalin karena pekerjaan ini tidak dikerjakannya
sebagai hasil profesi, tetapi karena didorong oleh keperluan.
11. KERTAS
SEBAGAI ALAS NASKAH DI INDONESIA
Ragam kertas yang digunakan untuk
menulis naskah ada yang polo putih (dalam perjalanan waktu menjadi kekuningan,
bahkan ada yang berwarna coklat muda), biru muda, ada yang bergaris macam-macam
(horisontal dan vertikal), bahkan ada yang menggunakan kertas bergaris untuk
perhitungan uang. Ukurannya pun bermacam-macam.
Mengenai impor kertas pada zaman VOC,
ada 3 arus kertas ke Indonesia. (1) aru dari Belanda, (2) dari Inggris, (3)
dari Itali. Sebelum masa itu bermacam-macam kertas yang dipakai, yaitu yang
berasal dari Italia, Prancis, dan mungkin juga dari Spanyol dan Portugis.
12. CAP
KERTAS
Yang dimaksud dengan cap kertas(watermark)
ialah semacam “gambar”pada kertas yang dapat kita lihat dengan nyata, jika kita
lihat ditempat yang ada sinar matahari atau lampu yang juga terdapat pada uang
kertas dan perangko.
Menurut Edward Heawood cap kertas yang
tertua terdapat pada kertas buatan Italia yang dibuat di Fabriano pada tahun
1282. Tujuan utama untuk mencantumkan cap kertas yang merupakan suatu tanda
dagang (trade-mark) ini ialah untuk menunjukkan kualitas, ukuran, atau, pembuat
kertasnya. Kira-kira pada tahun 1600—1750 muncul pula cap tandingan, yaitu cap
kertas yang menemani cap kertas (Heawood, 1950:6—12).
13. ILUMINASI
DALAM NASKAH-NASKAH MELAYU
Iluminasi ialah hiasan bingkai yang
biasanya terdapat pada halaman awal dan mungkin juga pada halaman akhir.
Keindahan gambar berwarna-warni diselang-seling dengan tinta emas dan perak,
yang ditulis pada naskah yng bertabur emas, sungguh dapat menimbulkan rasa
kekaguman pada seni menggambar dan menulis pada zaman lampau.
14. KOLOFON
DAN PENANGGALAN
Penanggalan yang terdapat dalam naskah
biasanya terdapat pada kolofon. Umumnya, pada penanggalan dibubuhkan tahun
Hijriyah, kadang-kadang terutama di dalam naskah-naskah yang muda dicantumkan
pula penanggalan menurut perhitungan Masehi. Belum tentu padanan tanggal
menurut perhitungan Masehi ini cocok.
Yang biasa dipakai untuk mencari padanan
penanggalan yang terdapat di dalam naskah dengan perhitungan tahun Masehi,
bahkan sampai dapat dirunut ke hari, tanggal, dan bulannya, ialah buku panduan
susunan Wustenfeld- Mahler yang direvisi oleh Bertold Spuler dan Joachim Mayr,
1961.
15. KEMUSNAHAN
DAN PEMUSNAHAN NASKAH DI INDONESIA
Kemusnahan naskah atau hilangnya naskah
dari bumi Indonesia disebabkan oleh hal-hal yang tidak sengaja, sedangkan
pemunahan naskah ialah akibat ulah manusi, baik sengja maupun yang tidak
disengaja. Kemusnahan di daerah tropika seperti Indoneia disebbkan oleh karena
alas naskah seperti kertas, rontal, dan nipah karena tidak dapat bertahan
terhadap iklim. Kemusnahan naskah ini dapat juga terjadi karena ulah serangga,
berupa kutu yang mungkin saja membuat naskah demikian rusaknya, sehingga tidak
dapat dipakai lagi karena tidak terbaca isinya. Selain itu sebagian disebabkan
oleh musibah yang menimpa (terbakar, bencana banjir, hilang dll) dan ada yang
karena kelalaian pemiliknya, seperti ditinggalkan mengungsi, terlupakan
memeliharanya dll.
Contoh pemusnahan naskah yang tidak
disengaja seperti yang terjadi di Cirebon. Peti yang berisi naskah suatu waktu
ditempatkan di dalam tanah tanpa diperiksa lagi. Pada waktu peti itu dibuka
pada tahun 1980, ternyata naskah-naskahnya telah hancur karena dimakan ngenget.
Pemusnahan naskah secara sengaja pun
pernah dilakukan di tanah air kita ini. Pada abad ke-17 di Aceh, karya-karya
Syamsudin Pasai telah dibakar karena pertentangan pendapat dalam masalah
keagamaan.
16. NASKAH-NASKAH
INDONESIA DI INGGRIS
Selama ini, keterangan mengenai
naskah-naskah di Inggris harus kita cari di dalam berbagai tulisan yang
terdapat di dalam bermacam-macam buku dan majalah.naskah yang telah didaftarkan
jumlahnya lebih dari 1.200 dan tersebar di 10 kota. Ada kira-kira 24 lembaga
yang terkenal, yang tua, dan yang penting yang memiliki naskah-naskah yang
tertulis didalam berbahagai bahasa daerah. Naskah yang berada di Inggris
merupakan naskah sumbangan dari berbagai tokoh terkenal pada masa itu.
17. NASKAH-NASKAH
INDONESIA DI NEGERI BELANDA
Pada waktu J. Pijnappel menulis
uraiannya dalam “Catalogus der Maleische” dinyatakan bahwa tidak ada sebuah
tempat pun di Eropa yang sekaya dengan naskah Melayu. Sebelum 1864 seperti yang
diutarakan oleh Ismail Hussein (1974) Legatum Warnerianum hanyalah memiliki 7
naskah; 2 diantaranya berasal dari perpustakaan Indisch Genootschap, 2 dari
perpustakaan Prof. Hamaker, 1 dibeli di suatu balai lelang pada tahun 1848, dan
ada 2 naskah yang lain.
Jumlah ini melonjak, ketika Koninklijke,
Akademie di Delft dibubarkan pada tahun 1864; sehingga sebagai akibatnya
nakah-naskah melayu dan Jawa di pindah ke Leiden. Disamping naskah-naskah
pindahan dari Koninklijke Akademie, banyak pula naskah yang dipindahkan dari
insansi-instansi lain seperti dari :
a. Koninklijke
Bibliotheek,
b. Rijksinstelling
voor Indisch Onderwijs, dan
c. Aardrijkskundig
genootschap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar