Sabtu, 20 Mei 2017

Mengupas Tuntas Puisi “Cerita buat Dien Tamaela” Pengarang Chairil Anwar

Sabtu, 20 Mei 2017

Kali ini saya akan mengupas salah satu puisi Chairil Anwar yang fenomenal yaitu “Cerita buat Dien Tamaela”. Nah, dari segi style yang digunakan dalam puisi ini mungkin kita sebagai orang awam yang tidak tahu menahu mengenai bahasa tersebut, tentunya kita bertanya-tanya apa sih isi atau makna dari puisi “Cerita buat Dien Tamaela” itu? Mungkin ada juga sebagian orang yang ingin membacakan puisi tersebut namun kesulitan untuk menjiwai karena masih belum tahu isinya. Disini, saya akan mencoba menulis kembali keterangan dari buku Pengkajian Puisi oleh Rachmat Djoko Pradopo. Dan disini, juga akan dipaparkan mengenai kajian Semiotika lainnya. Semoga dapat memberi pencerahan atas pemahaman puisi tersebut.
Berikut adalah puisi yang berjudul “Cerita Buat Dien Tamaela” :
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta Pattirajawane, menjaga huta pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan prawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari !
Mari beria !
Mari berlupa !
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu !
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
(DCD, 1959:34-5)
Yang paling menonjol dalam sajak ini adalah ulangan-ulangan, baik ulangan kata, kalimat, maupun ulangan bait. Ulangan-ulangan itu diantaranya berupa paralellisme, yaitu penjajaran kalimat-kalimat yang artinya sama atau hampir sama dengan mengganti sebagian katanya, seperti:
(Beta Pattirajawane)
Kikisan laut
Berdarah laut.
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa
Beta bikin pula mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Ulangan-ulangan tersebut itu untuk memperkuat arti dan untuk merenung, untuk menimbulkan ‘kekuatan gaib’, yaitu daya pesona. Ulangan-ulangan yang dipergunakan untuk memusatkan kontemlasi dan menimbulkan daya pesona ini merupakan munculnya kembali ciri-ciri sastra lama, yang oleh Subagio Sastrowardjojo disebutnya atavisme (1971:9, 15). Jadi, dalam sajak ini tampak pemunculan ciri-ciri sastra lama, yaitu yang bergaya demikian itu adalah mantera. Sajak ini bergaya mantera. Si aku (beta) seolah-olah mengucapkan mantera supaya siapapun yang mendekatinya harus memberi hormat kepadanya dan segan.
Si aku Pattirajawane ini lahir dan besar di bumi keramat dijaga datu-datu yang berkekuatan gaib dan taka da duanya. Si aku Pattirajawane ini kikisan laut/ berdarah laut, yakni keturunan nenek moyang pengarung lautan yang jaya. Bahkan ketika lahirpun oleh datunya dibawakan dayung dan sampan, lambang penguasa lautan. Begitulah Pattirajawane ini raja lautan.
Di samping hal tersebut di atas, Pattirajawane itu adalah pemilik kekayaan alam yang bukan main, pemilik hutan/ pala. Ia adalah api di pantai yang merupakan sumber penerangan dan kehidupan sebuah pulau! Karena kegagahan dan kekuasaannya ini, maka siapa yang mendekatinya, mendekati pulau dan kerajaannya harus tiga kali menyebut namanya, dalam arti orang harus menghormatinya, minta izin, dan bahkan harus memberikan upeti untuk penghormatan.
Pattirajawane adalah pemilik kesenian yang tinggi, yang membuat semua makhluk menari menurutkan irama tifanya. Karena bunyi musik (tifa) yang merdu itu, maka pohon pala dan badan perawan pun menjadi hidup (yaitu menari dengan bagus) sampai pada pagi hari tiba. Pattirajawane mengajak menari, bergembira, dan berlupa (melupakan hal-hal yang membuat sedih) kepada siapa yang datang mengikuti irama musiknya.
Meskipun demikian, Pattirajawane memberi peringatan kepada siapapun yang datang jangan menyebabkan dia marah, ia dapat membuat pala mati, begitu juga membuat gadis kaku ketakutan. Ia akan mengirimkan datu-datu (roh-roh keramat) yang menjaganya. Maksudnya, ia akan membasmi siapa pun yang membuat dia marah tanpa memandang bulu.
Pattirajawane selalu berjaga, baik pada waktu siang maupun malam. Ia merupakan pemberi (yang membangkitkan) irama pada ganggang dan pemberi api (semangat) kepada pulau (masyarakatnya). Ia yang menghidupi semua yang berada di pulau kawasannya. Tak ada yang menandingi keperkasaannya di dunia, taka da duanya di dunia. Ia adalah Pattirajawane yang dijaga oleh datu-datu (roh-roh keramat dan sakti), satu-satunya di dunia.
Sajak ini sesungguhnya alegori, yaitu cerita kiasan yang mengiaskan bangsa Indonesia yang gagah berani dan mempunyai kekayaan jasmaniah dan rohaniah tak terbilang. Penyair mengambil tokoh pattirajawane seorang tokoh dari Maluku. Tokoh ini merupakan pars pro toto bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Penyair ingat kepada sejarah Indonesia jaman sekitar datangnya V.O.C, bahwa pada saat itu bangsa Indonesia masih jaya: berwibawa, gagah berani, dan memiliki kekayaan yang tak ternilai harganya, yang diinginkan dunia Internasional, dikiaskan dengan ‘hutan pala’. Ini sesuai dengan keadaan daerah Maluku. Dengan kiasan secara pars pro toto ini kejayaan bangsa Indonesia menjadi spektakuler, begitu juga kekayaan, kebudayaan, dan kesenian menjadi nyata pula di depan mata.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa sajak ini bergaya mantera, maka ulangan-ulangan lah yang dominan, seperti telah tersebut di atas pula. Nama Pattirajawane secara berturut-turut diulang dari bait pertama baris pertama sampai bait keempat baris pertama. Di samping itu, ulangan tersebut untuk memberi gaya mantera, juga untuk menonjolkan tokoh Pattirajawane.. demikian pula penpnjolan ini untuk menampilkan tokoh yang mempunyai kepribadian kuat, mempunyai harga diri, dan kepercayaan kepada diri sendiri. hal ini diperkuat lagi dengan bait terakhir yang merupakan ulangan seutuhnya bait pertama:
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Karena citraannya adalah pahlawan Indonesia dari daerah yang masih terpencil, yaitu Maluku, maka untuk kesatuan citraan dipergunakan gaya mantera dengan citra-citra yang sehubungan: ‘datu-datu, laut, dayung sampan, hutan pala’. Alat musik pun khas daerah Maluku: ‘tifa’ (gendang khas Maluku). Di samping itu, semua serba gaib, penuh magi: ‘kikisan laut, berdarah laut, ganggang menari, beta api di pantai, pohon pala, badan prawan jadi hidup sampai pagi tiba. Beta bikin pala mati, gadis kaku / beta kirim datu-datu! // Beta ada di malam, ada di siang / Irama ganggang dan api membakar pula ….’.
Dalam ham pemakian bahasa dan segi ketatabahasaannya pun dipergunakan dialek Maluku: ‘beta’ untuk aku. Kata ‘cuma’ kurang standart bersifat dialek dibandingkan dengan ‘hanya’. Begitu juga kalimat: ‘siapa mendekat / tiga kali menyebut beta punya nama’, yang standart: ‘Tiga kali menyebut nama beta’. Begitu juga: ‘Menurut beta punya tifa’ untuk: Menurut tifa beta. Juga pada bait berikut ini dipakai kata-kata tak standart:
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!
Kata yang lebih standart untuk ‘bikin’ adalah ‘membuat’, untuk bentuk ‘beta kirim’ adalah beta kirimkan’. Semua itu untuk memberi warna setempat (local colour).
            Dalam hal bunyi pun dalam sajak ini tampak adanya kesejajaran dengan arti kata-kata dan kombinasi kata-katanya secara sintaktis. Bunyi vocal yang dominan adalah a dan u yang cocok untuk menggambarkan kebesaran dan kegagahan tokoh Pattirajawane, seperti tampak dalam cuplikan ini, yang lebih-lebih ditandai dengan bunyi vocal akhir baris a dan u yang dominan:
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
….
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu !
….
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

Daftar Pustaka
Pradopo, Rachmat Djoko, 1993. Pengkajian Puisi: analisis strata norma dan analisis structural dan semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.






Minggu, 30 April 2017

Cerkak Khotimatul Aminah




 Nanging Dudu Aku
Dening: Khotimatul Aminah

 


Wanci enjing, Setu Wage dintene, angin tansah sumribit nembus dhadha nusuk ing jiwa. Wujudipun embun kados eluh kang tumetes brebes mili wonten ing pipi. Tabuh enem enjing Jumayni ingkang asring katimbal May, wiwit siap-siap budhal sekolah. May, bocah ingkang lenggah wonten ing bangku Sekolah Dasar, dheweke niku boten kados dene bocah saumuranipun. Dheweke kagolong bocah menengan. Saben dinten wekdalipun telas kagem dhewean. May boten remen awor rencang-rencangipun. Nate wonten kadadeyan pisan, nalika May awor rencang-rencangipun, dheweke boten saged aktif cerita, lan nalika dijak gojegan bocahe boten saged gumuyu kados dene rencang-rencang sanesipun. Akhire boten wonten ingkang purun ngancani May. Malahan wonten rencangipun ingkang nganggep yen May niku bocah aneh. May inggih asring dipunlokne dening rencangipun. May, yuswanipun rolas tahun, dheweke sakniki kelas 5 SD. Sekolahanipun kagolong sekolahan ingkang terkenal ing kutha Solo.
Kaluwarganipun kagolong kaluwarga ingkang kacukupan. Bapakipun ngasta wonten ing pengadilan, jabatanipun dados Jaksa, dene ibunipun ngasta wonten ing salah sawijining perusahaan terkenal wonten ing kutha Solo ingkang jabat dados Manajer Keuangan. Saben dinten kekalihipun kondur wengi-wengi amarga kathah gaweyan ingkang kedah dipunayahi. May punika putri asil kawinanipun pak Sudarsono saha bu Darsih ingkang kaleksanan 13 taun kapungkur. Dheweke putra tunggal, saben dintenipun May diopeni dening pembantunipun, yaiku Mbok Sri ingkang yuswanipun sampun 55 taun. Panjenenganipun randha, garwanipun sampun seda dene putra-putrinipun sampun sami walakrama ngetutaken garwanipun piyambak-piyambak. Wiwit saking umbah-umbah, isah-isah, nyetrika, saha panggawean rumah tangga sanesipun kaayahan dening Mbok Sri, saha ingkang boten pareng kesupen inggih punika ngawasi lan ngurusi May ingkang sampun kaanggep dados putrinipun Mbok Sri piyambak. Nanging May boten saged srawung kaliyan Mbok Sri. Boten amung sepisan kalih pitakonanipun Mbok Sri boten digagas kaliyan May. Mbok Sri trima saged meneng kemawon. Pramila kekalihipun boten saged cedhak, amarga May bocahipun boten remen pacelathon.
Nalika kondur, tiyang sepuhipun May langsung leren bablas sare amarga badanipun kesel sampun merdamel sadinten utuh. Mbok Sri ingkang kulinanipun nguwasi May saking tebih, akhir-akhir niki asring nemoni solah bawanipun May ingkang aneh. Kadadeyan punika kawiwitan nalika tanggal 5 Januari 2017. Ing dinten selasa wengi May tangi lajeng medal saking kamaripun. Dheweke bukak lawang sarwa alon. Dheweke mlampah lajeng madosi kucingipun Pak So, tangga tepalihipun Pak Sudarsana lan Bu Darsih. Kucing ingkang saben wengi turu wonten ing teras ngarep omah. Saben May nemoni kucing prautane malih semrawut, kados dene tiyang ingkang anggadhahi dendam saha kebak amarah. Lajeng May mundhut watu ageng ing siseh kiwa griyanipun pak So. Watu ageng kalawau banjur dithuthukaken kucing kagunganipun pak So. Mbok Sri ingkang pirsa ngagem ketingalipun piyambak, rada boten percados, batinipun Mbok Sri, “opo aku iki ngimpi yo?” Mbok Sri setengah percados setengah boten. Saking kagetipun, panjenenganipun boten wantun madul dhateng pak Sudarsonio saha bu Darsih.
Luwih kaping 4 kucing e pak So dithuthuk i, mula saben wanci enjing Pak So kaget amarga awake kucing catu-catu. Pinten-pinten dinten sasampunipun kadadeyan puniku wanci dinten minggu enjing kucingipun pak So dikonangi mati. Ingkang jalari inggih punika, borok ingkang kathah wonten ing awakipun kucing. Pak Sudarsono enjing kuwi nalika sarapan, taken marang bu Darsih, “geneya yo bu kucinge pak So kok nganti catu-catu kaya ngono? Bu Darsih mangsuli, “lha inggih pak, kok yo aneh men mosok sing nglakoni kaya ngono pak So dhewe? Opo yo mungkin?” “hm bapak yo ora ngerti bu, wes aja suudzon ayo ndang age-age dientekne sarapane, gek ndang mangkat kerja”, prentahe pak Sudarsono. Mbok Sri boten saged ngendika punapa-punapa, amarga saking wedine manahipun.
Sampun tigang dinten niki kucingipun pak So mati. Nalika wanci wengi, wonten maneh tingkah anehipun May, sampun pinten-pinten dinten niki May boten saged bobok, mripatipun pentholong-penthiling ndelengi tembok omahipun. Kados wonten ingkang dipun padosi. Wengi niku Mbok Sri nguwasi ing siseh kiwanipun lemari bupet. May ingkang mangertosi cecek ing tembok, langsung dipunparani, banjur dicekel. Ngagem kukunipun May ingkang dawa cecekipun dipunpateni nganti metu getihe. Mbok Sri amung saged mlongo setengah kaget karo mbungkem lambene dhewe.
Nalika ing sekolahan, wanci jam kosong, ujug-ujug wonten rencangipun May ingkang ngelokaken: yen May meneng mawon kados patung. Rencang-rencangipun ingkang lenggah wonten ing bangku ngajengipun, wingkingipun, siseh kiwa, lan tengenipun May sami pindhah panggon. Lintunipun sami nyuweki kertas lajeng diuntel-untel lan diuncalaken marang May. Prautan wajahipun May ingkang datar niku tasih pancet mawon, kados boten nggagas. Lajeng wonten maneh bocah sanesipun ingkang jegug sirahipun May saking wingking. Sak uwat mripatipun May brebes, nanging boten ngetokaken eluh. Lajeng May ngadeg badhe menyang WC nanging wonten ingkang jengkakaken saking wingkingipun lajeng saking ngajengipun wonten sing njigal. May tiba, langsung semaput. Boten dangu dheweke tangi meleh banjur ngadeg jigreg. May langsung nesu-nesu lan ngobrak-abrik meja saha kursi wonten ing kelas. Setunggal lawan setunggal, rencangipun wonten ingkag dipunjambak rikmanipun, wonten ingkang dijengkakne nganti sikilipun ketatap lingiran kursi ingkang akhiripun medal getihipun. Kahanan kelas gadhuh sanget, bapak ibu Gurunipun turut menyang kelasipun May. May ingkang tasih kebak amarah punika langsung ditimbali wonten ing ruang BP. Rencangipun ingkang catu-catu kalawau dipunobati wonten ing UKS.
Sedinten saking kedadeyan punika bapak saha ibunipun May kaparingan surat saking sekolahan. Panjenenganipun dipuntimbali tindak dhateng sekolahan. Pak Sumarno ingkang ngayahi babagan BP (Bimbingan Konseling) nyariosaken tingkah lakunipun May wonten sekolahan ingkang jalaraken rencangipun catu. Sak jam sasampunipun pepanggihan punika, pak Sudarsono saha bu Darsih nyuwun pangapunten ingkang sakathah-kathahipun. Panjenenganipun janji bakal dhidhik putranipun supados kelakuanipun sae. Sasampunipun tiyang sepuhipun May dugi wonten ing griya, kekalihipun padu, adu tutuk. Pak Sudarsono nyalahaken bu Darsih amarga boten pecus dhidhik anak, amarga panjenenganipun repot ngurusi penggawean kantor kemawon. Pak Sudarsono nggih ngendika, garwanipun punika bonten saged dados ibu ingkang sae. Bu Darsih inggih gentos nyalahaken pak Sudarsono kasarengan kebak eluh wonten ing pipinipun. Boten dangu Mbok Sri rawuh wonten ing tengah-tengahipun kahanan ingkang sampun semrawut niku. Mbok Sri nglumpukaken manah supados saged tatag anggenipun ngendika marang kekalih ndoronipun. Ukara lawan ukara medal saking tutukipun mbok Sri ingkang nyariosaken kadadeyan wiwit saking May nyiksa kucingipun pak So saha kedadeyan sanesipun ingkang sampun mbok Sri mangertosi. Pak Sudarsono ingkang mirengaken kanthi raos boten percados, sak uwat panjenenganipun murka. Gantos nyeneni mbok Sri ingkang boten purun cerita wiwit kala mben. Mbok Sri saha bu Darsih tetangisan. Lajeng pak Sudarsono mikir pados solusinipun. Ujug-ujug panjenenganipun ngetokaken HPnipun, pados nomer hp wonten ing kontakipun banjur dipuntelpon.
 “Halo, Assalamualaikum, wah, pripun kabar panjenengan pak?, nggih Alhamdulillah menawi ngoten. Niki pak kula badhe sowan wonten ing Rumah Sakit panjenengan. Jam praktekipun panjenengan punika wiwit jam pinten ngantos jam pinten nggih?, oo… nggih. Benjing siang insyaallah kula sakeluwarga badhe sowan mriku pak. Matur nuwun”. Pak Sudarsono nutup telponipun. Lajeng pak Sudarsono maringi pangerten marang garwanipun, supados May dipunbeta wonten ing dokter psikolog.
Siang niku pak Sudarsono, bu Darsih, saha May tindak wonten ing salah sawijining Rumah Sakit wonten ing Solo. Panjenenganipun badhe nemoni pak Supari, ahli bidang psikologis tepanganipun pak Sudarsono minangka jaman biyen nalika tasih dados mahasiswa wonten ing UNS. Pak Sudarsono ngucapaken salam sesarengan nuthuk lawang ngagem drijinipun.
“assalamualakum.
“waalaikumsalam.”, jawabipun pak Supari. “mangga pak pinarak, mangga bu”,
 “o, nggih pak.
“,sampun dangu kula boten panggih panjenengan pak, sajakipun wonten punapa kok janur gunung sowan dhateng mriki?” ngendikanipun pak Supari.
 “saderengipun tepangaken, niki garwa kula Darsih, saha niki putri kula May”, “ngeten pak, kadosipun putri kula niki kagungan kelainan mental”.
“kelainan mental ingkang kados pundi pak? Punapa panjenengan saged nyariosi prastawa punapa kemawon ingkang sampun dipun alami dening May?”, pak Supari mangsuli.
Pak Sudarsono miwiti cariosipun ingkang dawa sanget. Intinipun panjenenganipun digawe bingung dening tingkah lakunipun May ingkang molah-malih, kadang dheweke dados bocah ingkang menengan lan nerima, kadang prautane kebak amarah, kadang tingkahipun aneh ora perikehewanan (amarga asring mateni kewan), kadang dheweke ngamuk lan boten saged ngontrol emosinipun ingkang asring nyebabaken tiyang ing sekitaripun catu.
 “lho, kedadeyan punika punapa sampun dangu pak?” pitakonipun pak Supari.
“Kirang luwih sampun telung sasi niki pak, sejatosipun kula ngertos kedadeyan niki saking mbok Sri, pembantu kula wonten ing nggriya, kula lan garwa kula saben dinten ngasta lan konduripun dangu-dangu, dados boten kober ngawasi May” ngendikanipun pak Sudarsono.
 “wiwit kapan May dipunasuh kaliyan mbok Sri?”
 “wiwit saking May umur kalih tahun pak”. Pak supari maringi panjelasan tingkah lakunipun May ingkang sampun nglewati wates punika dipunjalari saking kirangipun perhatian saha kasih sayang saking tiyang sepuh kekalihipun, wonten kamungkinan dheweke nerima tekanan-tekanan batin saking rencangipun, saha kirangipun komunikasi kalih tiyang-tiyang wonten sekitaripun, pramila dheweke boten saged nyaritakaken masalahipun saengga dipunpendhem piyambak. Pak Supari maringi kategasan menawi May punika kajangkit penyakit DID (Dissotiative Identity Disorder) utawi  penyakit kapribadhen gandha. Nanging untungipun bapak saha ibunipun langsung beta May menyang psikolog, dados tasih saged ketulungan lewat terapi.
Sasampunipun dugi griya, tiyang sepuh kekalih punika ngraos nyesel amarga salawase puniki boten nate menehi perhatian saha kasih sayang marang putrinipun. Kakalihipun nangis ngrasakaken kedadeyan ingkang dipunalami dening kaluwarganipun. Kekalihipun ngrangkul May sesarengan nyuwun ngapura amarga dereng saged dados tiyang sepuh ingkang sae. Panjenengan kekalihipun janji bakal ngorbanaken punapa kemawon kagem pengobatanipun May ngantos May saged dados bocah ingkang normal. Bu Darsih rela, mudhun saking jabatanipun amargi kepingin dados ibu ingkang sae. Sedaya pengobatan saha terapi ingkang butuhaken peran psikolog profesional kedah dipunlakoni.
Sampun nem sasi niki May kaparingan terapi rutin, sekedhik-sekedhik kondhisi mentalipun pulih nanging pancen boten saged drastis. Panjenenganipun kedah sabar sawetara wektu, ikhtiar saha ngentosi hidayah saking Gusti kang Maha Kuaos. Wanci dintenipun minggu nalika May, Bapak, saha Ibunipun piknik wonten ing taman Sriwedari Solo, May wiwit saged gumuyu kanthi bocah normal sanesipun lajeng ngrangkul tiyang sepuhipun. Kahananipun kebak rasa haru lan ngayubagya.
T   A   M   A   T……………………..
Solo, 7 April 2017

Puisi Khotimatul Aminah



KEPADA HUJAN
Karya : Khotimatul Aminah

kepada hujan
aku bercerita
tentang nada-nada
yang tak dapat kuraih dengan pita suaraku sendiri
dan kau temukan sajak-sajakku tergeletak,
tanpa nyawa
di dinding peraduan
dimana tiada kata rahasia
dimana orang-orang berhak mencukil duri dibenaknya
agar beban sedikit lebih ringan, katanya…

Geguritan Khotimatul Aminah



JAMAN PICISAN
Dening: Khotimatul Aminah



Jaman iki jaman picisan
Kabeh-kabeh kebak katresnan
Yen ora pacaran jare kurang pergaulan
Uga jalari ketinggalan jaman

Jamane jaman picisan
Asmara kanggo uba pacoban
Yen wus kedadeyan,
Mobat-mabit ibarat kitiran

Jamane pancen picisan
Nepsu kaumbra ing priyangga badan
Nlusup alus tanpa konangan
Jebule, dirgama tan kadugan

Duh, temenan iki jaman picisan
Ngawure wus ora karuan
Polahe wus ora kena digadhang
Anane mung rekayasan katresnan

Surakarta, 11 Oktober 2016